segunda-feira, 16 de maio de 2016

definisi perkawinan hukum gereja katolik dan adat Kampung Vaniria



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk individu sekaligus sebagai mahkluk sosial. Dalam interaksi sosialnya, manusia diatur dan dibentuk sesuai dengan norma-norma dan aturan–aturan dalam tradisi/budaya setempat. 
Perkawinan sebagai suatu realitas hidup manusia telah dikenal oleh segenap anggota masyarakat sebagai suatu proses peralihan, dari masa remaja menuju ke masa dewasa (hidup berkeluarga). Yang dimaksudkan dengan suatu  proses peralihan hidup adalah hubungan antara seorang pria dan wanita yang mana mereka ingin hidup bersama untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga secara mandiri. Hidup yang baik perlu adanya saling pengertian antara suami-istri. Hal ini berarti bahwa membangun keharmonisan dalam hidup berumah tangga melalui perkawinan, menjadi sebuah standard dan pandangan positif dari keluarga bahwa dalam membangun keluarga peranan keluarga juga sangat penting karena baik dan buruknya sebuah rumah tangga ditandai dengan perkawinan menjadi bagian dari semua lapisan anggota keluarga dalam masyarakat yang bisa bertanggungjawab (khususnya keluarga dari kedua bela pihak). Oleh karena itu perkawinan seseorang diatur oleh keluarga dalam masyarakat yang luas, karena sebagai manusia yang hidup berdampingan dan membangun interaksi yang luas maka itu perlu dalam perkawinan seharusnya mengatur sebuah persatuan yang baik diantara sesama. Interaksi sosial pada dasarnya hubungan timbl balik antara sesama dengan orang lain. Dalam hal ini khususnya keluarga dari pihak pria dan wanita, untuk bersama-sama bertanggungjawab atas pernikahan, dengan memenuhi tuntutan adat yang dikenal dengan barlake.  Hal tersebut merupakan suatu proses yang berlaku secara turun temurun, yang dipahami sebagai perkawinan adat. Perkawinan dalam pandangan hukum Gereja Katolik menyebutkan nilai kehidupan terutama tugas suci bagi manusia dalam mengembangkan keturunan sesuai dengan gagasan Kitab Kejadian: “ Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi” (Kej 1: 28). Dalam hal ini perkawinan dikehendaki oleh Allah sejak manusia diciptakan. Dalam perkawinan hukum adat merupakan suatu perkawinan dalam masyarakat yang berbudaya dan memiliki agama agar ia tetap mengikuti nilai-nilai gereja yang berlaku. Dalam tata cara perkawinan adat makasa’e yang dapat diatur dan disesuaikan dengan perkawinan hukum Gereja Katolik yang dianutnya. Dengan semua latar belakang ini, penulis membuat sebuah pertanyaan bahwa dalam perkawinan diantara Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat, manakah yang didahulukan ? Perkawinan secara hukum Adat lalu disusul dengan perkawinan hukum Gereja Katolik.  Dalam hukum adat maupun perkawinan hukum Gereja Katolik yang masing-masing mempunyai tujuan,  pandangan, harapan yang sama dan tuntutan yang perlu dipenuhi. 
            Bertolak pada uraian latar belakang, penulis mengangkat judul” Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat di Kampung Vaniria, Sub -Distristo Lautem, Distrito Lautem “(Sebuah Studi Perbandingan)”.


1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, selanjutnya penulis merumuskan masalahnya sebagai berikut: Sejauh mana perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan hukum adat di kampung Vaniria, Sub Distrito Lautem, Distrito Lautem.
1.3. Hipotesis
Ada persamaan dan perbedaan antara Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat di Kampung Vaniria, Sub Distrito Lautem, Distrito Lautem.
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui tentang perbedaan dan persamaan dalam perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat.
2.      Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang nilai-nilai terdalam dari Perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat.
1.5. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi penulis, untuk menambah wawasan yang lebih mendalam tentang Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat.
2.      Membuat perbandingan serta hubungan perkawinan antara hukum gereja dan hukum adat .
1.6. Sistematika Penulisan
              Adapun Sistematika dalam penulisan ini ialah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan. 
BAB II LANDASAN TEORI: Yang memperkuat argument penulis dalam penulisan dalam Skripsi ini adalah teori-teori yang berhubungan dengan pemahaman dan praktek Perkawinan menurut pandangan hukum Gereja Katolik dan hukum Adat.
BAB III METODE PENELITIAN: Meliputi Bahan atau Materi Penulisan, Populasi dan Sampel, Ruang Lingkup Penelitian, Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Observasi dan Wawancara, Dokumentasi, Teknik Analisis Data.
BAB IV PERKAWINAN MENURUT HUKUM GEREJA KATOLIK DAN HUKUM ADAT DI KAMPUNG VANIRIA, SUB-DISTRITO LAUTEM, DISTRITO LAUTEM, Menyangkut ; Selayang Pandang tentang Kampung Vaniria dan Latar Belakang,  Penulis telah memperoleh dengan membandingkan antara Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik Dan Hukum Adat Di Kampung Vaniria.
BAB V  PENUTUP
              Kesimpulan dan Saran.





BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik.
         Gereja mempunyai peranan penting dalam memberikan pandangan hidup yang baik kepada manusia (mempelai) bagaimana menciptakan sebuah rumah tangga yang kuat dan kokoh dalam mendirikan sebuah rumah tangga melalui perkawinan gereja. Karena gereja mempunyai peraturan-peraturan hukum yang mendasar agar semua manusia dalam hal ini adalah bagaimana manusia itu bisa mengikuti langkah-langkah yang ditetapkan oleh gereja sebelum melangsungkan perkawinan.
2.1.1. Pengertian Hukum Gereja Katolik
Kitab Hukum Kanonik adalah salah satu Hukum Gereja yang  selalu memberikan petunjuk kepada semua orang agar dapat menghayati nilai-nilai perkawinan. Gereja didirikan sebagai Sakramen Keselamatan yang kelihatan, membutuhkan norma-norma agar terlihatlah baik agar tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan, dapat terlaksana kuasa kudus serta pelayanan Sakramen-sakramen-Nya. Gereja memberikan pelayanan sesuai dengan petunjuk hukum gereja. Untuk itu perlu adanya koordinasi supaya gereja memberikan suatu keputusan sesuai dengan prinsip hukum gereja.
Gereja tak dapat salah merupakan karunia Roh Kudus yang bersemayam dalam orang-orang beriman dan menerangi mata hati mereka (Cf Ef 1: 18) sehingga mereka dapat mengenal dan dengan taat mengakui sebagai Sabda Allah, yang pasti dan dapat dipercaya sepenuhnya, Sabda yang disuruh-Nya diucapkan dengan pasti di dalam Gereja-Nya (1 Tes 2: 18). Jadi kesempurnaan Gereja yang pada pokoknya berkaitan dengan ajaran Gereja berdasarkan Kitab Hukum Kanonik. Kesepakatan nikah diakui sebagai kesepakatan yang sejati bila diberikan dengan sungguh-sungguh bebas, tidak dipaksakan oleh orang lain, dan memuat kemauan dan pengetahuan yang benar tentang hal-hal hakiki dari perkawinan. Hal-hal hakiki dari perkawinan itu menyangkut makna, tujuan-tujuan  pokok, dan sifat-sifat pokok. Tentang kesempatan nikah konsili vantikan II  menegaskan,  bahwa Perkawinan merupakan" persekutuan hidup, yang dibangun oleh perjanjian nikah. GS, 48: yakni persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali bila kedua mempelai tidak Katolik, mereka harus menyatakan kesepakatan nikah mereka dengan " forma publica ", artinya di depan dua saksi dan seorang pejabat yang berwewenang (misalnya pendeta, penghulu, peneguh nikah sipil dan sebagainya). Tetapi bila salah satu beragama Katolik, kesepakatan nikah mereka harus dinyatakan dengan " forma canonica ", artinya di depan dua saksi dan seorang pejabat gereja yang berwenang (yakni pastor paroki atau petugas pastoral lain yang mendapat delegasi darinya). Perkawinan yang semula dikira sah tetapi ternyata tidak sah mungkin dapat disahkan oleh gereja. Hukum Gereja Katolik mengatur hal ini pada kanon-kanon 1156-1165.
Menurut pendapat penulis bahwa “sebuah pernikahan perlu didasari oleh rasa kemauan dalam arti dari kedua belah pihak saling menyetujui berlangsungnya suatu perkawinan, dan perkawinan semata-mata tidak dipaksakan, karena bila sebuah perkawinan atas dasar paksaan maka tentu perkawinan itu pada satu saat akan cacat atau bisa terjadi perceraian karena ketidak cocokan”.
2.1.2. Tujuan, Sifat dan Dasar Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
            Tujuan, sifat dan dasar perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik sangat penting dimengerti dan dihayati oleh semua pihak teristimewa, mereka yang memutuskan untuk membangun sebuah keluarga dalam perkawinan.
2.1.2.1. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik.
  Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan utama yakni: 1. Kesejahteraan bahwa dalam berumah tangga kebutuhan-kebutuhan hidup harus diutamakan dan dipenuhi agar anak-anak merasa diperhatikan dan mempunyai semangat hidup, dan disinilah suami-istri merasa senang dan sejahtera.  2. Kelahiran anak bahwa tentu tujuan yang pertama adalah mencari keturunan, namun sebagai suami istri tanggung jawab utama adalah bagaimana membina anak-anak agar mengetahui tentang hidup beragama serta mengenal nilai-nilai gereja. Tujuan utama ini bukan lagi pada prokreasi atas kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha pembatasan kelahiran anak (KB). Yang dimaksudkan adalah bahwa bila tidak menggunakan program KB (Keluarga Berencana) tentu saja menjadi salah satu faktor penghambat dalam rumah tangga bila dikaitan atau dipandang dari mata pencaharian/pendapatan seorang kepala keluarga setiap hari. 3. Pendidikan, karena anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka itu sebagai suami istri harus memberikan tuntunan, dorongan, motivasi  kepada anak agar memiliki semangat untuk sekolah. Karena pendidikan adalah tuntutan zaman untuk memiliki kapasitas dalam menjawab situasi perkembangan zaman pada saat ini.  Bahwa kesejahteraan akan menjadi patokan  utama dalam hidup berumah tangga, bila itu terjpelihara baik, maka motivasi untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anakpun dengan baik dan sukses.
2.1.2.2. Sifat-Sifat Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
            Sifat-sifat perkawinan hukum gereja (Kan. 1056) adalah sebagai berikut:
a.       Monogami adalah perkawinan yang hanya memiliki satu istri/suami
b.      Tak terceraikan, bahwa dalam  ikatan perkawinan tidak ada istilah cerai atau diceraikan kecuali oleh Allah atau kematian.
c.       Perkawinan bersifat Sakramen karena ini merupakan tanda kasih Allah, dimana suami istri saling mengasihi, menghargai satu sama lain dan menjadi terang bagi orang lain teristimewa dalam membina keluarga.
            Persekutuan suami isteri yang luhur dan kekal melambangkan hubungan cinta yang mesra antara Kristus dan Gereja sehingga tidak dapat diceraikan oleh siapapun kecuali Allah sendiri sampai maut memisahkan mereka. Hukum perkawinan yang berlaku untuk setiap agama tentu mempunyai perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan. Hukum  perkawinan secara otentik diatur sebagai awal kodrat dari segenap umat manusia (Kej. 2: 18). Berdasarkan pewahyuan Kitab Kejadian di atas, Yesus menegaskan kepada Kaum Farisi dan para Rasul bahwa " Perkawinan itu dari dirinya sendiri dan hanya terbentuk dari dua orang saja, dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan sehingga tak ada seorangpun yang boleh menceraikannya (Mt 19: 5-6). Yesus menegaskan perkawinan bagi orang kristiani bersifat monogam dan tak terceraikan. Perkawinan yang suci dan luhur tersebut bersifat monogam dan tak terceraikan artinya hanya mempunyai satu istri dan satu suami sampai akhir hidup. Monogam adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Prinsip pernikahan seperti ini dianut dalam Gereja Katolik Dalam Kitab 1 kor 7: 12-13; 15) Menegaskan bahwa sistem monogam menyangkut pribadi, dimana kesetiaan dan pengorbanan suami isteri tidak dapat diberikan kepada pria dan wanita lain dalam kondisi dan situasi apapun. Sedangkan bersifat tak terceraikan artinya perkawinan bukan hanya sementara namun perkawinan sampai seluruh hidup yakni kematian yang dapat memisahkannya”.
Dalam perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dan dari sifat kodratinya itu terarah pada kesejahteraan suami isteri serta kelahirannya dan pendidikan anak; Oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang–orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen. Oleh karena itu orang-orang yang dibaptis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya merupakan Sakramen (Kan 1055).
Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar Sakramen (Kan 1056).
Sakramentalitas perkawinan menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan dua orang yang telah dibaptis menjadi sakramen, sehingga tidak ada perkawinan di antara orang-orang yang telah dibaptis yang telah dengan sendirinya sakramen (Kan 1055). Artinya, hubungan kasih antara suami dan istri kristiani menjadi lambang dan ungkapan nyata-kelihatan dari relasi kasih antara Kristus dan Gereja-Nya (bdk. Ef 5,22-33). Menurut pendapat penulis bahwa hubungan/relasi antara suami-istri semakin dipererat oleh cinta kasih dan kesetiaan, ini harus dibuktihkan lewat perilaku, sikap dan pembawaan setiap suami-istri, kesetiaan perlu dikembangkan seperti kesetiaan Kristus kepada Bapa-Nya, begitupun dengan segala kesetiaan Ia mengambil sikap dengan gereja dalam mewartakan sabda Allah kepada seluruh umat manusia. Maka itu menjadi inspirasi bagi suami-istri agar selalu menjaga keharmonisan dan kesetiaan dalam rumah tangga seperti kesetiaan Kristus kepada Bapa-Nya.
2.1.2.3. Dasar Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Allah menciptakan manusia sebagai seorang pria dan wanita menurut citra atau gambar-Nya sendiri, untuk saling mencintai dan saling menbahagiakan sebagai teman hidup. Dalam realitas hidup manusia sehari-hari, perkawinan itu mempunyai dampak lain yakni perpisahan dangan bapak-ibu dan kemudian melanjutkan persatuan dengan membentuk sebuah rumah tangga (suami-istri) menyatu menjadi satu sebagai suami-istri yang berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang dari masa anak-anak, remaja, menuju masa dewasa. Ia meninggalkan status sebagai anak atau remaja dan mulai hidup baru yaitu sebagai suami isteri, sebagai pasangannya. Dalam hal ini juga diungkapkan dalam Kitab Kejadian sebagai seorang pria akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu tubuh dan satu daging yang tidak dapat dipisahkan oleh orang lain. Dimana telah terungkap dalam kitab (Kej, 2 : 24) berbicara tentang suami isteri.
Suami isteri yang mempunyai suatu kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama dan perkawinan, kecuali jika ada alasan legitim yang membebaskan mereka (Kan 1151). Perkawinan merupakan suatu ikatan cinta kasih yang resmi dan tetap antara seorang pria dan wanita, yang saling mengikat  hubungan diri guna membangun suatu keluarga Kristen Katolik yang luhur dan suci.
Kesucian perkawinan dan hidup bersama dalam keluarga membangun cinta kasih dalam hidup, karena perkawinan yang dibentuk oleh sang pencipta, dan dilengkapi dengan hukum-hukumNya dapat membantu kita untuk saling mematuhi satu sama lain didasarkan atas tindakan persetujuan secara pribadi dan pemberian diri dalam hubungan satu dengan yang lain dalam hal ini adalah suami-istri. Ikatan itu tidak tergantung pada tingkah laku atau keinginan manusia ikatan itu suci, demi kepentingan keluarga untuk mempertahankan keturunannya dan demi kepentingan masyarakat.
Cinta kasih dalam  kesetian Allah yang begitu besar dan mulia kepada umat- Nya (Israel) sehingga "Cinta-Nya yang luhur itu dilambangkan sebagai ikatan cinta dalam perkawinan" (Hos, 2: 18). Perkawinan menurut perjanjian lama (PL) merupakan lambang cinta kasih Allah kepada umat Israel. Cinta kasih antara suami istri untuk mendapat dukungan dari kitab suci (Kej, 2: 22-24; Ef, 25-33). Cinta kasih ini amat manusiawi karena bersifat pribadi dan bebas.
 Cinta kasih  mencakup kebaikan dan ungkapan jiwa dan badan sebagai tanda hidup perkawinan. Cinta kasih itu dimeterai dengan kesetiaan disucikan dengan Sakramen Kristus. Dalam perjanjian Baru (PB) ikatan itupun menjadi tanda cinta kasih Yesus Kristus terhadap gereja-Nya. Artinya cinta kasih suami isteri berteladan pada pertahanan cinta antara Kristus dengan gereja-Nya yang tak mengenal batas, tanpa syarat, penuh pengorbanan dan setia seumur hidup (Ef, 5: 22-27).
Jadi penulis dapat simpulkan bahwa perkawinan itu terjadi sejak rencana penyelamatan Allah kepada umat-Nya (Israel) dan diwujudnyatakan melalui  pengorbanan Yesus dalam  karya penyelamatan-Nya. Secara singkat bahwa cinta kasih Allah kepada umat manusia yang tiada bandingnya merupakan dasar perkawinan bagi pernikahan suami istri. Maka itu sebagai keluarga harus menananmkan nilai-nilai gereja melalui pembinaan-pembinaan iman yang dilakukan oleh gereja (Doutrina). Untuk itu pelaku dan pelaksana perkawinan harus berdasarkan ajaran-ajaran gereja, karena ini menjadi salah satu momentum terbaik untuk membina keluarga yang baik dan sejahtera. Semua ini harus diwujudnyatakan melalui perbuatan, yang mana gereja sudah mengajarkan. Peranan dan harapan gereja selalu memberikan yang terbaik, dan mempunyai harapan bahwa hidup akan lebih baik, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur.
2.1.2.4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Syarat-syarat sahnya perkawinan Gereja Katolik, Menurut (Bria 2002,40), yaitu bebas dari halngan-halangan kanonik, dengan adanya konsesus atau kesepakatan perkawinan yang dirayakan dalam forma canonica.
Pertama, bila bebas dari halangan-halangan kanonik artinya perkawinan itu tidak sah bila terjadi ada pelanggaran secara kanonik (dalam kanon-kanon tertentu), dimana dalam kodex /uris canonici 1983 terdapat dua belas kanon yang dapat menggagalkan sebuah perkawinan yakni Kan 108-1094. Dalam halangan-halangan tersebut ikatan perkawinan yang terdahulu (Ligament) beda agama dispartis cultus, engan hubungan darah dan hubungan adopsinya.
Kedua, dengan adanya konsesus artinya: dengan perbuatan dan kemauan pria dan wanita yang saling menyerahkan dan menerima untuk membentuk suatu perkawinan dengan perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali. Dengan suami istri yang berjanji telah saling mencintai dan setia seumur hidup dalam suka maupun duka.
Ketiga, perkawinan dirayakan dalam forma Canonica (Tata peneguhan nikah). Tata peneguhan nikah forma Canonica ordinaria, tata peneguhan nikah biasa dan forma canonica extra ordinaria, tata peneguhan luar biasa.
Forma Canonica ordinaria yaitu perkawinan orang Kristen Katolik dalam keadaan normal yang sekurang-kurangnya harus dirayakan dan dihadapkan tiga orang yakni ordinaries dalam wilayah imam/pastor paroki atau Diakon sebagai peneguh dan dua orang saksi (Kan. 1101).
Berdasarkan  uraian di atas maka  penulis dapat simpulkant bahwa  Perkawinan yang terjadi bukan atas kehendak manusia itu sendiri melainkan dengan Cinta dan Kehendak Allah kepada manusia. 
2.1.2.5. Proses Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
         Proses perkawinan dalam hukum gereja katolik adalah terdiri dari beberapa tahap yakni, pertama: pendaftaran pernikahan di gereja melalui sekretariat pada paroki masing-masing pada hari kerja, membawa surat pengantar dari lingkungan calon mempelai baik pria maupun wanita. Dalam hal ini surat pengantar untuk mengikuti KPP (Kursus Persiapan Perkawinan), membawa foto kopi surat baptis. Bila semua proses ini sudah diselesaikan maka, dari mempelai melalui katekis menghubungi pastor untuk melanjutkan perkawinan.      
2.1.2.6   Peneguhan Perkawinan Gereja Katolik.
Dalam upacara perkawinan Katolik, terbagi atas 4 bagian yakni upacara pembukaan dan tiga upacara peralihan (Cooke 1991: 95).
 1. Upacara pembukaan. Mempelai pria dan wanita memasuki ruang perayaan  dalam perarahan untuk memberi arahan diantar oleh kedua orang tua atau   keluarga dan para undangan.
2. Upacara peralihan pertama. Pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita duduk ditengah orang tua atau keluarga masing–masing atau wali yang ikut berpartispasi.
3. Upacara peralihan kedua. Dalam upacara peralihan kedua inilah mempelai pria dan wanita membangun hubungan baru yaitu setelah pewartaan Sabda, mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya mempelai pria dan wanita saling menukar dan memasang cincin.
4. Upacara peralihan ketiga. Mempelai diberi tugas dengan menyalakan  lilin menandakan bahwa mereka dipanggil untuk hidup suci dan terlibat dalam  karya Kristus di dunia, menanggung konsekuensi hidup sebagai keluarga Kristen baru yakni melayani dan menghayati Sakramen Perkawinan sebagaimana misteri paskah.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa perkawinan bukanlah kehendak manusia melulu namun demi panggilan suci untuk melanjutkan dan mewujudnyatakan cinta Allah kepada Gereja dengan melayani sesama dan membangun keluraga bahagia dan kesejahteraan. Perkawinan itu sah bila adanya cinta atau  kemauan dari hati nurani pasangan suami istri sendiri dan sebagai simbol atau tanda cinta dan ikatan perkawinan seperti cincin dan lilin.
2.2    Perkawinan Menurut Hukum Adat
Hukum Adat adalah sebuah fenomena (cara /pengalaman hidup) Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan dan diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna tersendiri karena merupakan refleksi budaya yang hidup di dalam masyarakat. Sebagai satu tipe hukum adat di dunia, hukum adat mempunyai karakter yang khas. Karena hukum pada dasarnya bersenyawa dengan dengan masyarakat tempat lahir dan tumbuhnya, maka dengan sendirinya hukum adat itu merupakan wujud (yuris-fenomenalogis). Intherensi antara hukum adat dengan masyarakat (semestinya) dapat diwadahi dalam hukum adat. Hal demikian relevan dengan sifat dinamis dan statis dari hukum adat kita sehingga (seharusnya) hukum adat tetap relevan dan berperan pada masyarakat kita, baik sekarang maupun yang akan datang.
Hukum (adat) dan perubahan sosial adalah dua hal yang berhubungan satu sama lain bersifat paradox. Hukum selalu tunduk pada karakter normatifnya sementara perubahan sosial berjalan sesuai dengan kontuinitas.


2.2.1  Pengertian Hukum Adat
Pengertian Adat mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (Mores) dan kebiasaan umum (Folkway), meski dalam praktek lebih mendekati pengertian kebiasaan. Adat juga diyakini sebagai tradisi atau warisan dari leluhur yang menegakkan persekutuan di kampung dan menjadi pola hidup generasi selanjutnya. Jadi pengertian adat harus ditempatkan dalam konteks kebudayaan yang lebih besar bukan parsial.
Hukum Adat adalah “Suatu hukum yang berakar pada nilai-nilai budaya, dan sepanjang perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian diri dengan kehidupan bangsa Indonesia”. (Syamsudin Machcum 1998:165).

Hukum adat di dalam bidang perkawinan itu dapat mengubah coraknya menjadi upacara-upacara kebudayaan di bidang kesenian dan kesusilan sesuai dengan adat, selera dan kebijaksanaan masyarakat setempat. Maka perkawinan menurut hukum adat  perlu menjalin hubungannya dengan hukum agama agar tidak terlepas dari aturan-aturan hukum gereja yang berlaku. Maka itu kalau menyebut pula peraturan lain maka hukum adat tetap dipertahankan sebagai satu wadah dalam masyarakat, bukan berarti mengesampingkan hukum agama.
2.2.2. Tujuan Hukum Adat.
Tujuan dari hukum adat adalah untuk :
a)   Menjaga kestabilan nilai-nilai budaya, artinya bahwa tujuan utama dari hukum adat adalah bahwa agar kestabilan nilai-nilai budaya tidak dianggap sebagai suatu hal yang biasa, yang mudah diperjual belikan begitu saja, justru harus dipertahankan dan diteguhkan agar tidak tercoreng di mata masyarakat.
b)      Mempertahankan adat-istiadat dan tidak sewenang-wenang dipermainkan oleh manusia, hukum adat perlu dipertahankan agar tidak mudah dirombak oleh niat-niat orang lain yang sengaja ingin  menghancurkannya.
 Menjadi wadah masyarakat dan mengikat masyarakat untuk saling menghargai.
Hukum adat mempunyai tujuan yang sama yaitu tujuan yang bersifat biologis yakni melanjutkan keturunan (Suwando 1983: 36).

Tujuan perkawinan adat Makasae yang utama yaitu demi kehidupan anggota keluarga (menurunkan keturunan bagi keluarga). Tujuan lain dari perkawinan adat Makasae yakni saling membahagiakan, saling menyejahterakan  dan saling melengkapi dalam segala hal.
2.2.3. Sifat Perkawinan Adat
Sifat perkawinan adat merupakan salah satu sifat tradisi antara lain:
a)      Salah satu proses yang bersifat internal adalah bahwa sebelum mencalonkan atau mempertemukan kedua calon suami istri terlebih dahulu harus membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat, agar terciptalah saling menerima dan menghargai satu sama lain antara keluarga dari kedua belah pihak.
b)      Perkawinan adat tidak bersifat memaksa dan monogamy bahwa dalam pembicaraan keluarga dari kedua belah pihak tidak ada sifat saling memaksa, tapi   hanya persetujuan  cinta yang kuat timbul dari hati kedua calon suami-istri (Kan. 1055).
c)      Perkawinan adat dikehendaki seperti ajaran Katolik atau hukum Gereja Katolik bahwa perkawinan suami istri terjaga sehidup semati. Hal ini bertujuan agar menjaga keharmonisan, keserasian, dan kemakmuran dalam rumah tangga.
2.2.4. Dasar Dan Tujuan Perkawinan Menurut Adat
           Dasar dan tujuan perkawinan adat adalah menjadi momentum penting untuk membangun sebuah rumah tangga (perkawinan) karena sebuah perkawinan tentu melalui dasar dan tahap-tahap serta mengikuti nilai-nilai dari masing-masing budaya setempat agar lebih mengikat tali persatuan serta tanda saling menerima keberadaan sistem dan nilai budaya orang lain.;
2.2.4.1. Dasar Perkawinan Adat
Telah dikenal bahwa yang menjadi dasar utama dalam sistem perkawinan dalam satu  suku / budaya adalah bahwa harus konsisten dengan apa yang sudah menjadi adat dan kebiasaan di mana kita berada, oleh karena itu masing-masing suku, budaya maupun bangsa harus berpedoman  pada  hukum dan norma serta mempertahankan dan  meningkatkan  nilai-nilai masing-masing budaya setempat.
Perkawinan adat Makasae hanya mengenal sistem hafolin Bura Gini yang terjadi pada dasar kekerabatan yang di namai “Tufu Mata ou tumata (Feto Sa)” dan “Omarae (Umane)” Tufu mata ou tumata sebagai kelompok yang beristri dengan para putri dari Omarae ou Umane (Barlake Tuir Lisan Emar Makasa’e-Soba).
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal. Menurut Marques selaku tokoh adat di Aldeia Vaniria suatu ikatan perkawinan hukum adat yang tak terputuskan dalam keluarga di Aldeia Vaniria, perkawinan secara endogami (perkawinan dalam satu wilayah atau lingkungan saja) masih sangat kuat dalam perkawinan adat Makasa’e.
2.2.4.2. Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan adat adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteran spiritual dan material. Berdasarkan perkawinan adat yang dirumuskan di atas bahwa perkawinan di kalangan suku Makasa’e yang terjadi atas dasar kekerabatan yang terarah pada ahli waris dalam kehidupan. Prokreasi sebagai tujuan perkawinan, untuk saling membantu dan saling melengkapi hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Seorang pria membutuhkan seorang wanita sebagai teman hidup melalui perkawinan untuk bertanggungjawab atas semua keperluan rumah tangga yang berhubungan dengan tugas sebagai ibu rumah tangga. Begipun sebaliknya, seorang wanita membutuhkan seorang pria sebagai teman hidup demi bertanggungjawab atas semua kebutuhan hidup termasuk salah satu adalah mencari nafkah demi kelangsungan hidup keluarga, dalam hal ini yang berhubungan dengan tugas sebagai seorang kepala rumah tangga. (Hal ini diberlakukan sesuai dengan Barlake Tuir Lisan Emar Makasa’e-Soba-Mengikuti adat Makasaé Soba).
2.2.4.3. Syarat-Syarat Perkawinan Adat Makasa’e.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Syarat pertama dan utama itu adalah belis yang ditentukan oleh kedua belah pihak, sebagai ikatan perkawinan yang mengandung  nilai-nilai budaya dan moral yakni dengan belis untuk memperkokoh ikatan perkawinan sehingga tidak terjadi penceraian. Begitupun juga mempunyai nilai kekerabatan agar dapat membina persatuan, kekeluargaan dan keterikatan antara keluarga kedua belah pihak sekaligus sebagai pendukung kelangsungan hidup baik secara moril maupun spiritual kepada calon suami-istri agar mereka hidup berdampingan dan sambil memacuh dan saling meringankan beban dan tanggung jawab mereka.
Syarat kedua bahwa persetujuan antara  kedua mempelai dalam perkawinan mempunyai tujuan dan maksud agar mereka  dapat membentuk satu keluarga yang kekal, harmonis, bahagia, sejahtera sesuai dengan  apa yang diharapkan oleh semua pihak keluarga dari kedua belah pihak kedua. Dan  dalam perkawinan secara adat makasa’e tanpa ada paksaan dari pihak manapun.  Dan dalam  perkawinan ini  akan  diselesaikan melalui hukum adat yang berlaku di aldeia Vaniria. (Barlake Tuir Lisan Emar Makasa’e-Soba).
2.2.4.4 Proses Perkawinan Menurut Hukum Adat
2.2.4.4.1 Umur Untuk Kawin
Pada umumnya, proses perkawinan yang telah berlaku dalam masyarakat baik pemuda maupun pemudi dalam hukum adat adalah sebagai berikut:
(1). Pada pemuda.
a.       Sudah tergolong mane–mane (Laki–laki) foisai bila umur 18 tahun ke atas.
b.      Sudah tahu kerja kebun.
c.       Tahu adat istiadat setempat.
d.      Sudah tahu mencari nafkah sendiri.


(2). Pada Pemudi.
a.       Umur 17 tahun ke atas
b.      Sudah tahu mengurus pekerjaan rumah tangga.
c.       Tahu tenun dan pekerjaan tangan wanita.
d.      Tahu menerima tamu.
e.       Dikatakan pemudi sudah tahu; Fatin To'o atau Foisai (dewasa).
(3). Tanda kedewasan lainnya.
a.       Asas dan hitamkan gigi
b.      Penyutan pemuda dalam umur remaja
c.       Bila menginjak umur remajanya gadis atau juga pemuda diberi tempat istimewa disalah satu sudut rumah yang disebut loka. Ini jadi tempat tidurnya atau tempat kerjanya yang tak sembarang dimasuki oleh orang lain.
2.2.4.4.2. Peminangan Atau Pertunangan Dan Pemilihan Jodoh.
Peminangan secara adat umumnya tidak langsung dibuat oleh pemuda sendiri, melainkan memakai perantara; ai lalete. Biasanya seorang saudara perempuan atau saudara laki-laki ibu bersama beberapa anggota keluarga yang pergi meminang si gadis. Cara menanyakan si gadis dalam bahasa bunga atau kiasan:
Ø  Apakah tuan rumah ada piara babi atau kain tenun.
Uma mane sia hahan fahirai tais ka lale maksudnya: Ada anak-anak gadis atau  tidak. Bukan sembarang anak gadis dapat dipinang. Sangat lazim di Aldeia Vaniria pada umumnya. Pemuda mencari atau dicarikan tunangannya dari salah satu anak perempuan saudara laki–laki dari ibu (Cross Cousins). Bentuk perkawinan Cross Cousins inilah yang menyebabkan bahwa anak–anak dari kecil sudah dijodoh oleh kedua orang tuanya, untuk kemudian setelah dewasa diikat bersama dalam perkawinan. Bila pinangan itu diterima oleh orang tua anak gadis, maka pertunangan kedua orang muda itu diresmikan dengan: Tara Horak:Tara hela nudikin bua dikin atau tukar melamar atau meminang gadis itu, pesta upacara kawin secara Adat: pertapa waktu perayaan pesta kawin kedua anak muda biasanya ditentukan bersama oleh kedua pihak orang tua: pihak wanita, Uma Mane atau Oma-Rae (Peit, 1990: 108).
Dalam persiapan belis dari pihak pria untuk pihak wanita sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di daerah atau suku setempat, dan bila semua persiapan sudah selesai diurus dan belis pokok lainnya sudah selesai dimasukkan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita maka akan diadakan pesta pernikahan, dan pada umumnya pesta pernikahan dilangsungkan di rumah wanita. Sehari sebelumnya keluarga pemuda datang dan menginap di rumah atau di pondok klobor yang sudah disediakan. Selama berada di rumah gadis, semua urusan makan- minum ditanggung oleh pihak gadis. Dalam hal itu pemuda–pemudi adat kedua pihak memperbincangkan–memberikan hadiah kawin secara matriarkat atau soal belis Takan bua atau Loninin (sirih pinang: belis yang bersistem patriarkat). Adapun tahap–tahap Upacara perkawinan secara Adat sebagai berikut:


a.       Waktu mempelai wanita diantar oleh keluarga memasuki kampung halaman
mempelai laki-laki, diadakan penerimaan secara adat dengan syair Tetum 
yang disebut: Lia Nain atau Ina Boba (Ini lazim untuk kaum Raja atau Dom)   
sedangkan rakyat kebanyakan biasa dapat diterima dengan sapaan secara adat.
Wua–Afo, Anu–Afo.
b.      Pada saat hendak meresmikan perkawinan kedua mempelai salah seorang pemuka dari pihak feto sá (pihak lelaki) mulai berdoa kepada arwah nenek moyang dalam rumah yang disebut: Lor Fatuhun atau Ai–Oma gia (tempat untuk menaruh barang pusaka nenek moyang agar kedua mempelai diberi rahmat dan keturunan demi mempertahankan budaya dan adat istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka).
c.       Setelah selesai percikan, orang mulai menyiapkan perjamuan pesta kawin.       
d.      Nasihat seorang pemuka adat Uma Mane atau Oma–Ra (dari pihak wanita) atau pihak feto sá atau Tumata (dari pihak laki–laki) memberi petunjuk-petunjuk bagi kedua mempelai untuk hidup rukun sebagai suami istri.
e.       Hadiah–hadiah kecil pada pesta kawin yang diberikan oleh para undangan baik itu kenalan maupun yang bukan famili atau yang berfamili.
2.2.4.4.3  Mas kawin.
Melihat tata susunan masyarakat secara geneologi adalah matrilineal (menurut garis keturunan ibu) dan sistem perkawinannya matriarkat dan patriarkat, lokal maka sejak nenek moyang mas kawin tidak di kenal di Aldeia Vaniria umumnya baik di Aldeia Borbatu maupun Barliu. Di Aldeia Barliu atau Euqiuce selalu dengan sirih–pinang; Taka bua, Lohu-bua dan perhiasan wanita, sejak permulaan adad XX, raja–raja mulai memasukkan sistem perkawinan patriarchat, sehingga mulai di kenal belis dipakai mata uang mas, perak dan hewan dalam perkawinan. (Peit, 1990: 112).
Raja–raja mulai menerima sistem baru ini dan mempraktekan dengan sistem perkawinan patriarchat itu atas dasar–dasar seperti tertera dibawah ini.
   1.         Karena satu sistem baru yang menarik.
   2.         Dengan memakai sistem patriarchat mereka dapat membawa wanita ke pihak pria dengan keluarganya, yang harus dibayar belis pada wanita.
2.2.5. Peneguhan Perkawinan
Upaca perkawinan, terbagi atas 4 bagian yakni upacara pembukaann dan tiga upacara peralihan ( Cooke, 1991: 90-95).
2.2.5.1. Upacara Pembukaan
Mempelai pria dan wanita memasuki ruang perayaan dalam perarakan oleh orang tua/keluarga dan para undangan.
2.2.5.2. Upacara Peralihan Pertama
Pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita di tengah orang tua/keluarga masing-masing atau wali yang ikut berpartisipasi. Sebagai saksi sekaligus menjadi motivator kepada kedua mempelai agar tetap kuat dan tabah dalam hidup berumah tangga.
2.2.5.3. Upacara Peralihan Kedua
Dalam upacara peralihan ini kedua mempelai mengikuti perayaan sabda,dan setelah  setelah pewartaan sabda, mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya mempelai prtia dan wanita saling menukar dan memasang cincin pada jari pasangan sambil berkata;terimalah cincin ini sebagai tanda perkawinan kita, semoga cincin ini selalu mengingatkan engkau akan cintaku padamu.
2.2.5.4. Upacara Peralihan Ketiga
Mempelai diberi tugas untuk menyalakan lilin, menandakan bahwa mereka dipanggil untuk hidup suci dan terlibat dalam karya Kristus di dunia, yaitu menanggung konsekuensi hidup sebagai keluarga kristen yang baru yakni melayani dan menghayati sakramen perkawinan sebagaimana Misteri Paskah. Perkawinan ini sah bila adanya cinta atau kemauan dari hati nurani pasangan suami istri sendiri.



BAB III
                                            METODE PENELITIAN
3.1. Bahan Atau Materi Penelitian.
Materi atau bahan penelitian yang dimaksudkan ialah populasi dan sampel, yang menjadi obyek penelitian dan yang dikenai penelitian.
3.1.1 Populasi
Sukardi (2003:35) dalam bukunya menyatakan bahwa populasi adalah Semua anggota kelompok yang tinggal bersama dalam suatu tempat dan secara terencana menjadi target suatu penelitian. Populasi yang direncanakan dalam rencana penelitian disebut populasi target. Berdasarkan uraian–uraian di atas penulis berpendapat bahwa populasi adalah keseluruhan subyek yang diteliti atau dijadikan obyek penelitian.
Populasi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah seluruh kampung masyarakat, Kampung Vaniria yang menjadi populasi dalam penelitian berjumlah seratus tujuh (107) kepala keluarga (KK). Dengan delapan klan kekerabatan (Uma Lisan Wo-afo, Anu-Afo). Kabitan Kabureno, Liuafa, Lemuasa, Baunu, Bobasa, Sulivua, Tauvua, Serentu Mor.
3.1.2 Sampel.
Menurut Sukardi (2003:54) Sampel ialah sebagian dari jumlah populasi yang dipilih sebagai sumber data. Berdasarkan uraian data tersebut di atas berpendapat bahwa sampel ialah sebagian populasi yang dikenai penelitian. Dalam hal ini sampel adalah populasi akses yaitu jumlah anggota kelompok yang dapat ditemui di lapangan dan bukan populasi target.
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah masing–masing para tokoh Adat sebanyak empat puluh lima (45) orang berdasarkan klan keluarga atau kekerabatan, dan guru agama lima (5) orang sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah lima puluh (50) orang.
Dalam penentuan penulisan ini peneliti menggunakan teknik strasifikasi. Dalam pertimbangannya bahwa suatu populasi yang terdiri dari beberapa kelompok individual dapat terwakil yakni semua klan (Uma Lisan Valu) yang sebagai populasi penelitian (Sukardi, 2003: 60).
Teknik pengambilan sampel ialah teknik strasifikasi maka sampel yang di tentukan atau dipilih dalam penelitian ini adalah Uma Lisan Valu yang terdapat dalam kampung Vaniria.
3. 2   Ruang Lingkup Penelitian Penulisan
         Ruang lingkup penulisan penulis membatasi diri pada” Perkawinan menurut  Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat dikampung Vaniria”, penelitian tersebut, dilakukan sebagai suatu studi perbandingan. Variabel bebas atau independen. Sebab dilihat dari judul skripsi, kedua variabel (perkawinan menurut  Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat) merupakan variabel bebas yang dikomparasikan. Berdasarkan variabel tersebut di atas maka sampel dan lokasi penelitian antara kedua variabel yang berbeda. Sebab variable tentang adat sampelnya yaitu tokoh–tokoh agama setempat.
Sedangkan variabel kedua, lokasi penelitian adalah stasi Euquisi Aldeia Vaniria, dan sampelnya yakni tokoh–tokoh adat setempat. Pada stasi tersebut terdapat dibagian Makasae, sehingga penulis hanya membatasi diri pada stasi dari Euquisi yang berjumlah seratus tujuh (107) kepala keluarga (KK) yakni Aldeia Vaniria, yang telah dipaparkan pada bagian populasi dalam penelitian.
3.3. Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data  kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat.
3.3.2 Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai oleh peneliti yaitu:  
Pertama, sumber  data  primer atau data dasar (primary data basic) dan data yang diambil dan dikumpulkan langsung oleh peneliti dari lokasi penelitian yang diolah dan dianalisis oleh peneliti.
Kedua, sumber data sekunder adalah data-data yang telah ada dalam catatan-catatan dalam dokumen serta teori-teori dari kepustakaan yang relevan dengan penelitian.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
       Dalam penulisan skripsi ini peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan tiga teknik dalam pengumpulan data yakni teknik studi dukumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan wawacara atau interview.
3.4.1 Observasi
Observasi merupakan suatu cara pengamatan langsung dalam mengamati dalam gejala yang ingin diteliti dengan panca indra (pengelihatan atau pandangan). Dalam hal ini penulis turun langsung ke lapangan untuk melihat secara langsung bagaimana system perkawinan yang sebenarnya ada di kampung vaniria.
3.4.2 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi yakni kontak pribadi/hubungan antara pewawancara dengan pihak yang diwawancara atau peresponden. Teknik wawancara yang digunakan untuk memperoleh data peneliti menggunakan alat catat, perekam yakni tep recorder.
3.4.3 Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan transkrip, buku, agenda, dan sebagainya. Telah disebutkan pada jenis dan sumber data bahwa salah satu sumber informasi untuk penelitian ini diperoleh melalui keterangan yang terdapat dalam dokumentasi atau catatan-catatan. Bahan dokumen sering disebut penelitian kepustakaan. Penggunannya dengan cara mengidentifikasi, mencatat, dan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisa data–data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah teknik analisa deskriptif dan eksplanatoris. Secara eksplanatoris penulis menguraikan kembali tentang pemahaman teoritis dan praktek dalam hukum perkawinan dari berbagai referensi yang dipergunakan. Setelah itu penulis menampilkan secara spesifik tentang perkawinan menurut pandangan hukum gereja katolik dan hukum adat (deskriptif).
                                                         BAB IV
PERKAWINAN MENURUT HUKUM GEREJA KATOLIK
DAN HUKUM ADAT DI KAMPUNG VANIRIA,
SUB-DISTRITO LAUTEM, DISTRITO LAUTEM
4.1  Selayang Pandang Tentang Kampung Vaniria
4.1.1 Latar Belakang, Kampung Vaniria
Pada mulanya bangsa Portugis berada di negara Timor Leste di Aldeia Vaniria tergolong masyarakat primitif yang tergantung dari penghasilan alam yang ada. Aldeia Vaniria mempunyai sejarah bahwa seorang Ratu atau Liurai yang bernama Dona Roma–Soru yang memberikan masa jabatan kepada Dom Nunu–Sama, Taru–Sama, Resikai dengan Buli Rai–Laibuli. Pada saat itu Aldeia Vaniria sebagai sebuah desa atau suco Vaniria yang mempunyai tiga kampung atau Aldeia sebagai berikut:
a.       Vaniria Voite’e
b.      Vaniria Ete’e dan
c.       Afadiga
Menurut keterangan dari responden Delfin bahwa sebelum adanya Desa Vaniria (belum berdiri sendiri), pada tahun 1939 Liurai atau Ratu Buli Rai–Laibuli, mengembalikan masa jabatan kepada Ratu. Domingos sebagai kepala desa Euquice dan Vaniria menjadi Aldeia sampai tahun 1942 pada waktu itu, perang dunia kedua (Segundo Guera Mundial).


4.1.2 Keadaan Geografis di Kampung Vaniria
Secara geografis di Kampung Vaniria merupakan wilayah yang terletak diantara Desa Euquice dan Kampung Vaniria. Pada umumnya daerah ini adalah daerah pegunungan. Selain itu daerah tersebut memiliki daratan tinggi dan rendah serta disekelilingi oleh pengunungan yang menjulang tinggi. Adapun batasan-batasan dalam wilayah di Kampung Vaniria adalah sebagai berikut:
a.       Di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Daudere
b.      Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Saelari
c.       Di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Wairoke
d.      Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ililai
4.1.3 Keadaan Iklim dan Cuaca
Wilayah atau Kampung Vaniria letak geografis memiliki iklim sub-tropis, dan daerah yang memiliki curah hujan terjadi pada bulan November hingga Mei. Pada bulan Juni hingga Oktober terjadi pada musim Kemerau.
4.1.4 Mata Pencaharian Masyarakat Vaniria
Kehidupan ekonomis atau mata pencaharian di Desa Euqusi Kampung Vaniria adalah merupakan salah satu daerah atau wilayah yang cukup dikenal dengan berbagai macam jenis tanaman pangan/dagangan atau dikatakan sebagai wilayah agraris seperti : Kelapa, Padi, jagung, kemiri, Tua (arak), Mangga, Kayu Cendana. Kehidupan masyarakat di Kampung Vaniria dapat dikatakan cukup menghasilkan namun kendalanya karenba daerah terpencil dan jauh jauh dari kota bahkan sulit untuk mengekspor barang-barang usaha tersebut ke kota karena masalah transportasi.  Kendatipun barang usaha/dagangan mereka hanya di perjual belikan dengan menggunakan sistem barter (pertukaran barang dengan barang).
4.1.5 Keadaan Masyarakat di Kampung Vaniria
Secara umum peneliti menguraikan keadaan masyarakat di Kampung Vaniria berdasarkan Kepala Keluarga (KK), jenis kelamin,  status mata pencaharian, yang terikat, pendidikan hasil produk nabati dan hewan (dalam potensi) di Kampung Vaniria. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada table-tabel berikut ini:
  1. Keadaan Masyarakat berdasarkan bentuk Kepala Keluarga (KK).
Tabel I
No
Kepala Keluarga (KK) dan Jenis Kelamin
Jumlah
1
Kepala Keluarga (KK)
107 KK
-
2
Laki-Laki
-
216 Jiwa
3
Perempuan
-
183 Jiwa
Total
107 KK
399 Jiwa
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011
  1. Keadaan Masyarakat berdasarkan Jenis Kelamin dari Anak-Anak
Tabel II
No
Jenis Kelamin dari Anak-anak
Jumlah
1
Laki-Laki
79 Orang
2
Perempuan
61 Orang
Total
140 Orang
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011


  1. Keadaan Masyarkat berdasarkan Status
Tabel III
No
Status
Jumlah
1
Janda
18 Orang
2
Duda
8 Orang
3
Yatim Piatu
23 Orang
Total
49 Orang
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011
  1. Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian
Tabel IV
No
Mata Pencaharian
Jumlah
1
Petani
90 Orang
2
Pedagang
8 Orang
3
Nelayan
9 Orang
4
Pegawai
13 Orang
5
Pelajar
390 Orang
Total
510 Orang
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011
  1. Keadaan Masyarakat Vaniria Berdasarkan Tingkat Umur
Tabel V
No
Tingkat Umur
Jumlah
1
0-5 Tahun
68 Orang
2
6-16 Tahun
124 Orang
3
17 ke atas
231 Orang
Total
423 Orang
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011


  1. Keadaan Masyarakat Vaniria berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel VI
No
Tingkat Umur
Jumlah
1
Tamatan SD
32 Orang
2
Tamatan SMP/SLTA
22 Orang
3
Tamatan SMA/SMU
36 Orang
4
PT/Perguruan Tinggi
8 Orang
Total
98 Orang
Sumber data: Aldeia Vaniria Mei 2011        
  1. Keadaan Masyarakat Vaniria berdasarkan potensi-potensi dari hasil produk dan binatang peliharaan sebagai
a.          Dari Hasil Produk Nabati
Tabel VII
No
Jenis Produk
Jumlah
Keterangan
1
Kelapa
970 pohon

2
Kayu Jati
982 pohon

3
Cendana
197 pohon

4
Jambu Monyet
995 pohon

5
Pinang
998 pohon

6
Kayu Putih/Merah
739 pohon

7
Kemiri
984 pohon

Total
5865 pohon

Sumber data: Aldeia Vaniria Julii 2011       


b.      Dari Hasil Produk Hewan
Tabel VIII
No
Jenis Produk Hewan
Jumlah
Keterangan
1
Kerbau
792 ekor

2
Kuda
796 ekor

3
Babi
8489 ekor

4
Kambing dan Domba
9989 ekor

5
Ayam
8967 ekor

Total
36033 ekor
Keterangan
Sumber data: Aldeia Vaniria Juli 2011        
4.2  Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
4.2.1        Pengertian Hukum Gereja Katolik
Dalam kanon 1055 disebutkan bahwa perkawinan adalah “perjanjian seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup”. Dalam kanon ini, perkawinan  pertama-tama dipahami sebagai sebuah perjanjian atau consensus untuk membangun suatu persekutuan hidup. Pernyataan “persekutuan seluruh hidup” mau menegaskan bahwa perkawinan mencakup dan melibatkan seluruh kehidupan suami istri, dalam segala situasi dan kondisinya: dalam untung dan malang, dalam suasana susah dan gembira. Ini semua berlangsung mulai sejak diucapkannya janji pernikahan, sampai saat kematiannya. “ Seluruh hidup” mau menunjuk keseluruhan waktu selama laki-laki dan perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan yang sah, mulai sejak diikrarkannya janji pernikahan. Dalam hal ini, kegagalan mencapai tujuan perkawinan bukanlah alas an untuk menuntut pemutusan ikatan perkawinan.
4.2.2. Proses Perkawinan Gereja Katolik
Dalam proses perkawinan gereja katolik adalah bahwa sebelum melakukan pemberkatan, dari kedua mempelai lebih dahulu menyelesaikan masalah adat, setelah itu mendaftarkan diri di paroki, dan paroki masih memberikan waktu untuk mengikuti kursus atau bimbingan rohani kurang lebih tiga bulan dan bila semua itu selesai maka, diadakan pemberkatan atau perkawinana oleh gereja. Karena perkawinan yang sah seharusnya mendapat pemberkatan dari gereja, yang diberikan seorang pastor.
4.2.3. Persiapan Rohani
Sebagai seorang kristiani yang dibaptis melalui sakramen permandian perlu adanya pembinaan iman dan relasi dengan Allah melalui Perantaraan Yesus Kristus. Hal ini dimaksudkan supaya ada interaksi antara Allah dengan manusia melalui iman bahwa Roh Kudus selalu ada dan bersama dengan Allah. Dalam hidup perkawinan salah satu faktor utama kepada para calon mempelai baik itu pria maupun wanita perlu adanya persiapan batiniah yang kuat sekaligus mempersiapkan diri dalam mengambil keputusan untuk sumpah hidup semati dalam membina suatu rumah tangga yang kudus. Karena persiapan rohani dimaksud untuk pemurnian hidup baik itu pemurnmian hidup rohani maupun jasmani, karena kedua-duanya merupakan hubungan timbal-balik dalam  mental-spiritual diri seseorang.
4.2.3.1. Mendaftarkan Diri Di Paroki
Sesuai dengan pengamatan serta asumsi penulis bahwa sebelum  melangsungkan pernikahan perlu kedua calon mempelai mendaftarkan diri di paroki, karena paroki merupakan salah satu cabang gereja yang didirikan atas dasar harapan para umat dan tempat  untuk membahtikan diri kepada Alllah. Untuk itu sebelum melangsungkan perkawinan harus melaporkan/mendaftarkan diri kepada paroki untuk memberikan petunjuk, bimbingan, motifasi, serta harapan agar kedua mempelai melangsungkan pernikahan serta mengarahkan hidup keluarga mereka dengan harmonis.
4.2.3.2. Mengikuti Kursus Persiapan Nikah
Salah satu syarat yang dilakukan oleh gereja adalah bahwa setiap calon mempelai perlu adanya persiapan sebelum memasuki tahap pernikahan. Persiapan tersebut dilakukan dengan mengikuti kursus untuk mendapat tuntunan, bimbingan rohani, pengarahan, motifasi, mendalami doa-doa, mengenal proses perkawinan yang baik dari para katekis dan juga pastor yang berada di paroki. Kursus persiapan pernikahan ini sangat penting nilainya karena dapat mengantarkan para calon perkawinan untuk lebih mendalami, menghayati apa arti sebenarnya dalam hidup sebuah rumah tangga.
4.2.3.3. Persiapan Perkawinan (Kursus Nikah)
Proses perkawinan perlu adanya suatu proses persiapan. Persiapan yang dimaksudkan adalah bahwa hubungan ikatan relasi yang baik antara keluarga pria maupun wanita, dipandang dari segi belis atau adat istiadat. Bila ini sudah dilakukan dengan baik maka persiapan yang lain adalah bahwa dari segi materi baik itu dari pangan maupun sandang, hal ini bermaksud bahwa setelah perkawinan, tentu kedua mempelai sudah hidup bersama dalam membangun satu keluarga yang bahagia.
4.2.3.4. Pengakuan Pribadi
Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak pernah luput dari kelalain. Introspeksi, pembenahan diri melalui pengakuan adalah salah satu jalan untuk mendapat pengampunan dari sang Ilahi. Karena pertobatan adalah jalan menuju perubahan hidup yang baik, jujur, terbuka. Untuk itu pengakuan selalu dilakukan oleh para calon perkawinan sebelum melangsungkan perjanjian nikah di depan pastor, dan para saksi, dalam ikatan persekutuan antara kedua mempelai untuk saling mencintai. Pengakuan juga bertujuan untuk melupakan masalah-masalah yang lazim dan membuat suatu perubahan baru dalam hidup agar mendapat ketenangan dan ketentraman dalam membina keluarga baru.
4.2.3.5. Peneguhan Perkawinan Atau Nikah di Gereja
Sesuai dengan pengamatan peneliti, peneguh perkawinan/pernikahan adalah ordinaries wilayah atau imam/pastor paroki dan diakon. Pada dasarnya imam atau pastor paroki yang aktif memberikan sakramen-sakramen, namun bila pastor paroki (imam) ada halangan, maka memberikan wewenang kepada diakon (calon imam) berperan aktif untuk memberikan pemberkatan nikah pada pasangan suami-istri yang membutuhkan. Dengan demikian seorang imam dan diakon aktif dalam peranannya masing-masing, dalam memberikan pelayanan sakramen-sakramen termasuk sakramen perkawinan.
4.2.3.5.1. Persiapan Liturgi Perkawinan
Dalam gereja katolik pemberkatan perkawinan selalu dilakukan dengan misa atau perayaan  Ekaristi. Dalam hukum gereja menekankan tanggungjawab para gembala umat dan komunitas umat beriman, untuk bersama-sama mengusahakan agar hidup perkawinan dipelihara dan dikembangkan dalam semangat kristiani. Bantuan ini diberikan bukan hanya untuk mereka yang mau mempersiapkan perkawinan, namun juga bagi mereka yang telah menikah, supaya bisa menghidupkan ikatan perkawinan mereka. Upaya untuk memelihara institusi perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Allah ini bukan hanya menjadi tanggungjawaban para gembala umat (Uskup, imam, dan diakon), namun juga menjadi kewajiban seluruh komunitas umat beriman. Karena itu, para gembala umat sedapat mungkin melibatkan partispasi umat beriman, khususnya mereka yang telah menikah dan para ahli, agar dengan bantuan dan keahliannya, mereka menyumbangkan sesuatu bagi pemeliharan institusi perkawinan.
4.2.3.5.2. Peneguhan Nikah
Tahap peneguhan sebagai tahap akhir dalam proses perkawinan adat makasae. Tahap ini dibagi atas “ Niru tau la’a dan oma tama”. Niru tau la’a dan oma tama dalam bahasa Indonesia artinya ; Melewati pintu dan masuk rumah.  Pemahaman sebagai adat makasae “ tupu ma’a duri” (hatun feto).
4.2.3.5.3 Pemberkatan Kedua Mempelai
     Menurut para tua adat mengatakan perkawinan secara adat melalui proses yang membudayakan di mana ada tahap-tahap perkawinan yang telah diperbolehkan antara kedua mempelai untuk mempersatukan dalam keluarga yang bahagia.
Keuntungan dari kedua mempelai untuk saling menerima antara kedua orang tua yang telah disepakati bahwa kedua mempelai, pria dan wanita yang ingin membentuk suatu keluarga atau klan suaminya harus mampu melanjutkan kehidupan dalam keluarga yang bertanggung jawab sebagai seorang ibu rumah tangga mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang bapak yang menjadi kepada ia harus mampu mencari nafkah hidup untuk melindungi isteri dan anak-anaknya menunjukan bahwa barlake dari satu segi dapat menguntungkan dengan sisi lain, juga dapat menghambat dalam keluarga yang kekal.
4.2.4 Persiapan Fisik
Sebagai manusia yang memiliki akal budi tentu menunjukkan sikap dan perbuatan. Perbuatan dapat dilakukan bila itu didasari oleh pikiran dan perasaan. Fisik menjadi tongkat utama bagi seorang ayah maupun ibu, karena sebagai tulang punggung keluarga yang mencari nafkah setiap hari untuk menghidupkan keluarga (anak-anak) tentu membutuhkan kesehatan fisik yang baik/normal. Akankah  seorang ayah/ibu menghidupkan anak-anak dengan keadaan fisik yang tidak normal. Mungkin tidak, karena kebutuhan terpenuhi dalam keluarga bila kedua-duanya memiliki kesehatan baik fisik maupun mental.
4.2.4.1 Persiapan Rumah Tempat Tinggal
Papan merupakan salah satu hidup primer manusia. Untuk itu demi kelangsungan hidup atau masa depan keluarga, istri dan anak-anak yang lebih baik, hal yang paling utama adalah Rumah/tempat tinggal, karena ini menjadi tempat penginapan untuk semua anggota keluarga melangsungkan hidup atau beraktivitas sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka. Inilah tempat untuk anak-anak berkreasi, belajar, berbicara, dan mendengarkan dan lain-lain. 


4.2.4.2 Mempersiapkan Perlengkapan Untuk Nikah.
Menurut pandangan penulis bahwa  perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam perkawinan adalah sebagai berikut: Cincin perkawinan, Pakaian pengantin, untuk pakaian pengantin tergantung dari kesepakatan dari keluarga kedua belah piha termasuk kedua mempelai.
4.2.4.3 Persiapan Kesehatan
            Dalam persiapan perkawinan satu hal yang sangat penting bagi kedua mempelai adalah bahwa keduanya harus mempersiapkan mental secara rohano maupun jasmani. Hal ini sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup dalam membina rumah tangga untuk masa depan keluarga teristimewa untuk pembinaan kepada anak-anak. Kesehatan merupakan salah satu standard hidup harmonis dan tenteram, karena dengan kesehatan yang baik, maka kedua mempelai dengan semangat dapat mengembangkan kreatifitas untuk kelangsungan hidup berumah tangga.
4.2.4.4 Mempersiapkan Pekerjaan atau Mempunyai Pekerjaan
Berdasarkan pengetahuan penulis bahwa seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis serta menuju perkawawinan/pernikahan hal yang perlu dipersiapkan sebagai sandaran untuk keduanya dalam rumah tangga ialah bahwa mempersiapkan serta mempunyai pekerjaan yang tetap, hal ini bermaksud unutuk kelangsungan hidup rumah tangga nanti akan terjamin dan terwujud dengan baik serta mendapat tanggapan positif dari istri bahwa suami memang benar mempunyai tanggung jawab sehingga sebelum membentuk rumah tangga, sudah mempunyai pandangan yang jelas untuk masa depan keluarga mereka. Maka mempersiapkan pekerjaan dan mempunyai pekerjaan sebelum melangsungkan perkawinan adalah salah satu cara dan persiapan yang baik.
4.3 Perkawinan Menurut Hukum Adat
   Berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh adat bahwa dalam hukum adat, dari pihak wanita pada dasarnya pasif. Dalam arti bahwa pria yang pergi dan meminang atau pemuda dan kerabat, sudah menyiapkan material yang cukup memadai sebelum pergi meminang atau pertunangan dengan seorang gadis. Dalam hal ini yang menunjukkan bahwa pihak pemuda yang aktif dan mencari, menyiapkan materi yang secukupnya untuk meminang seorang gadis. Menyusul percikan kedua mempelai dengan darah babi yang sudah campur sedikit air. Maksud dari percikan air itu, untuk kesehatan dan kebersihan perkawinan kedua mempelai untuk  menghadapi hukum adat yang menggosok di dahi dan dada kedua mempelai. Setelah selesai percikan, mulai masuk para perjamuan pesta kawin menurut hukum adat (menurut Marques 2011).
4.3.1 Pengertian Hukum Adat
   Hukum Adat adalah sebuah fenomena. Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan dan diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna tersendiri dalam kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan di Timor Leste pada.
4.3.2 Proses Perkawinan Adat
            Berdasarkan pengamatan penulis, proses perkawinan di kalangan suku makasae harus melalui tahap-tahap tertentu yakni “ tahap peminangan” sebagai tahap awal dalam proses perkawinan. Dalam tahap ini pihak keluarga atau orang tua pemuda menghubungi atau mengadakan kontak pertama dengan  orang tua/keluarga sang gadis, dengan maksud meminang gadis yang dimaksud bagi saudara atau putranya.
Tahap berikutnya adalah “tahap negosiasi barlake”. Pada tahap inilah yang akan berbicara tentang jumlah atau banyaknya materi yang akan diberikan kepada kerabat si gadis yang disebut dengan barlake atau preço de mulher. Setelah ketentuan barlake diterima oleh pihak keluarga pemuda yang disebut dengan kesi apa (ijuk dan batu), barlake akan diberikan pada waktu yang telah disepakati bersama.
Tahap yang terakhir adalah tahap peneguhan perkawinan. Pada tahap ini wanita secara resmi masuk dalam klan pihak pria dan sah sebagai istrinya. Seorang gadis diterima di dalam klan (rumah adat) suaminya dengan syarat tertentu. Proses peneguhan perkawinan dimulai dari rumah adat wanita menuju rumah adat pria. Secara singkat proses perkawinan adat makasae di Suku Vaniria melalui tiga tahap yakni tahap peminangan, negosiasi barlake dan peneguhan perkawinan.
4.3.3     Perkawinan Adat Makasae
 Perkawinan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dalam hidup  bermasyarakat, dimana perkawinan itu bukan hanya urusan pasangan suami istri melulu melainkan juga melibatkan masyarakat luas pada umumnya dan lebih khusus anggota keluarga dari kedua belah pihak. Bentuk interaksi ini terikat pada norma dan nilai-nilai budaya setempat. Inilah yang terjadi pada praksis perkawinan adat makasae sebagaimana dialami juga oleh masyarakat Timor umumnya. Sehubungan dengan itu, pada bagian ini penulis akan menuangkan secara khusus mengenai perkawinan adat makasae di Kampung Vaniria berdasarkan keterangan dan informasi-informasi yang diperoleh peneliti melalui observasi dan wawancara dengan para tokoh adat dan tokoh-tokoh agama setempat.
Data-data tersebut tidak dituangkan lagi secara mentah, namun telah diolah dari data hasil penelitian oleh penulis sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan, Dalam penyajian ini penulis tidak dapat menguraikan secara mendetail namun membatasi diri pada dasar dan tujuan perkawinan, proses awal perkawinan, tahap-tahap dan sistem perkawinan, material dan pemahaman dalam sistem barlake.
4.3.4 Sistem Barlake Atau Belis
Berdasarkan pengamatan penulis, sistem barlake di kalangan suku makasae adalah tukar menukar materi. Materi yang diberikan oleh pihak tupu mata adalah kerbau, sapi, kambing atau domba, surik dan uang, yang secara adat disebut dengan “seu do mumu” artinya daging dan logam atau besi dari pihak tupu mata. Sedangkan materi yang diberikan oleh pihak oma rae sebagai balasan adalah utusari rabi atau tais mane, tais feto, babi, beras, batik, morten dan anting-anting yang secara adat disebut dengan kola bu’a dan puputa rará. Dalam sistem barlake materi-materi yang disebutkan di atas adalah statis. Dalam arti materi-materi yang diberikan oleh pihak atau keluarga pria  tidak boleh diberikan oleh oma rae/umane (pihak keluarga wanita)sebagai balasannya. Dalam acara adat-istiadat termasuk perkawinan, pihak tumata pantang (dilarang) materi-materi daging yang diberikan kepada pihak or. Misalnya daging babi tidak boleh diberikan kepada pihak pemberi istri (or). Sebaliknya tm pantang apa yang diberikan kepada orang sebagai barlake atau preço de mulher.
4.3.5     Tahap-Tahap Perkawinan Adat
Dalam prose perkawinan adat makasae, mengenal tiga tahapan perkawinan antara lain; Tahap melamar/meminang, negosiasi barlake, dan tahap peneguhan perkawinan.
4.3.5.1     Tahap Melamar Atau Meminang
1.      Peminangan merupakan acara adat umumnya tidak . berlangsung dibuat oleh pemuda sendiri, melainkan memakai perantara; “ai dalan lalete”. Biasanya seorang saudara perempuan atau saudara laki-laki ibu bersama beberapa keluarga yang pergi meminang seorang gadis.
2.      Dengan proses meminang atau pelamaran, biasanya tidak berbicara secara terbuka, namun menggunakan kata-kata dalam bahasa bunga atau kiasan, sehingga kata-kata dapat disesuaikan dengan musim atau situasi dan kondisi tertentu.
3.      Pada musim hujan ditempat  tinggal seorang gadis yang terdapat tanaman bunga, maka ano gisobu lolo (bagaimana tentang adat dari kedua pihak keluarga) berbicara tentang dari pihak pemuda secara simbolis mengatakan maksud kedatangannya bahwa ano mata (kedatangan anak laki) atau fimata fi isidomau le ere, atefu-fulai va do fi oma fanukai isi hee ereni megau lita duulu mega au lita girau ou leta duulu eregau mau seti, gupulaa ni oma (kedatangan anak laki-laki kita  untuk mengunjungi rumah kita).
4.      Muni giduulu gini mana, ni oma murni ailas nana”. Artinya bahwa kedatangan kami ingin mau meliaht tanaman bungan di depan halaman rumah cukup subur maka kami mau ingin minta menghiasi di depan rumah kami.
5.      Pada waktu itu orang tua wanita belum member jawaban yang pasti dan orang tua wanita belum memberi jawaban yang pasti dan orang tuanya belum ada menanggapi secara simbolis bahwa “atefu-fulai duulu duni, buras duni maibe dado bounu do rega dada bounu do pala”. Artinya bunga di halaman rumah itu memang subur, tetapi banyak orang yang sama-sama menyirami dan memeliharanya.
6.      Bila ada lamaran yang terjadi pada musim tanam maka ada ano sobu lolo dari seorang pemuda yang mendatangi keluarga seorang gadis mengatakkan bahwa “ano mata fiisi damau-fi isi maeen do fi inudaru fi resa fasu uu seti nana ae-ai duguru leere hee gau dene fi isi daa mau fi isi maeen do fi inudaru firesafosu uu sete do ma ni ama saunu nana, ni keta liri nana”. Artinya kehadiran dari anak laki-laki untuk mengunjungi rumah kita dengan tujuan untuk meminta anak perempuan. 
4.3.5.2 Tahap Negosiasi Belis
Pada mulanya tentang belis itu dari kekerabatan dari calon bagi iragotu atali mane foun yang mendatangi bersama dengan keluarga calon fanusu fa ou girahana. Artinya Menantu anak perempuan. Untuk menentukan sistem belis yang akan ditempuh yakni dari sistem “kesiapan” dan sistem “nitufu gibura lolo”. Artinya Membicarakan belis menantu anak perempuan.
Sistem kesi apa artinya dan penahanan negosiasi itu secara adat makasae bahwa banyaknya belis yang diberikan dari calon fanufa ou girahana dan feto foun itu yang dibayar secara sistem adat pada tufu gibura gini. Oleh karena itu kedatangan dari calon manefoun belum memberikan sesuatu kerabatan kepada calon feto foun. Maka kerabatan atau ikatan calon luas kawin atau mane foun datang hanyalah utusan dari keluarga atau nia boba gisobu lolo.
Dalam proses kesi apa gibura lolo dari keluarga masing-masing duduk bersama untuk membicarakan mengenai masalah feto foun an mane foun dan kesempatan antara kedua calon mempelai dan saling memberikan barang ke barang karena melalui proses ke siapa keluarga feto foun yang memberikan sejumlah biji jagung sebagai pengantar ijuk atau batu (kesi apa).
Dari calon mempelai pria/manehou sudah mampu untuk memberikan sejumlah belis sesuai dengan ketentuan dari pihak orang tua yang diterima dari kerabat calon mempelai wanita/fanusufa atau panup feto foun, mereka mendatangi kerabat seorang gadis. Kedatangannya untuk menentukan waktu bagi proses berikutnya yakni sistem tufu bura gusi, tufu bura lolo. Dalam pemahaman secara hukum adat makasae bahwa belis dan calon fanusufa ou feto foun yang akan menikah nanti. Sistem tufu bura gi bura gini inilah proses awal dengan acara pemberian dan penerimaan belis. Sistem ini ditempuh dalam beberapa tahap yakni tufu tia la’a dan finuku fidata, tatutu teri, uli imi la sare, bua guar gikola gibua, panupa atau fanusufa. Artinya Kedatangan orang baru dalam hal ini adalah anak menantu perempuan.


4.3.5.3 Tahap Peneguhan Secara Hukum Adat.
Tahap peneguhan merupakan tahap akhir dalam proses perkawinan secara hukum adat makasa’e setempat. Tahap ini dibagi atas, ona tama dalam bahasa Indonesia, melewati pintu dan masuk rumah. Pemahaman secara adat makasa’e tufu ma’a nu’a dusi (hatun feto). tidak terputuskan di suatu kelak.
4.3.5.4 Tufu tia la’a dan Finuku-Fidata
Setelah tiba waktu yang ditentukan untuk mulai proses pelaksanaan tawar menawar belis/barlakeadu, sebelumnya saudari kandung seorang pemuda terlebih dahulu menjemput seorang gadis dari rumahnya. Penjemputan tepat pada hari negosiasi belis dimulai. Setibanya di rumah, orang tua atau ibu kandung pria ou namirae, menerimanya dengan menggunakan satu kain adat wanita tufu rae (rabi) sambil mengatakan “asi raku ou edipala’a-ou oma tama”. Maudo ira ma’a oma mutu é gutu, ata ma’a oma mutu é doe. Ira gana la’a boru benu, ata gana la’a le’e berei. Artinya sahabatku mari dan masuklah ke dalam rumah, mengisi air di rumah ini, agar penuh kuali, menghidupkan api di rumah ini hingga terang terbakar bagus.
Siang dan sore pihak pemberi isteri atau umane tiba, calon suami isteri telah dihiasi dengan kain adat (kola-rabi) oleh kerabat pria. Keduanya bersama-sama di dalam adat. Merebus air di dalam panci yang terbuat dari tanah liat sambil mengipas api dengan kipas yang dibuat dari anyaman daun lontar, sehingga tawar menawar belis sampai selesai dengan negeosiasi.


4.3.5.5 Finuku dan Fidata
Nuku-data berarti mengembalikan secara adat bahwa mengembalikan nama klan atau marga dari fanusufa. Anu sobu dari kerabat mane foun, manehou mendatangkan keluarga dari fanufufa feto foun mengatakan “anu-mata nisae niaali isi mau le’ere tamba atefu-fulai ini aihu’uru, ahi nana ini la’a aihu’uru le’ere gaudete fi isi ma’u fimuku isi é nana-fidata é nana. Gana rai’ isa rarau ulirarau, uligaga, amu gaga . Artinya kedatanganku ini karena mataku melihat bunga telah subur dan berbuah baik sehingga saya ingin mengembalikan nama baik menantuku ia melahirkan dengan sehat.
Menurut Delfin sebagai tokoh adat bahwa pengambilan nama baik biasanya kerabat mane foun memberikan satu ekor kerbau atau kuda, satu ekor kambing serta sepucuk pedang (si lafu u’u ou lafi lolo’e). Dalam rumah ini dari kerabat feto foun tidak membalasnya dengan sesuatu maka cinta kasih orang tuanya memberikan satu atau dua kain batik kepada putrinya.
Dengan nuku (marga) data istri dan anak-anaknya pantang bersama dengan keluarga seorang wanita boleh makan daging babi dan tidak boleh makan daging ayam, sebaliknya dari keluarga pria, makan acara ini secara adat istri dan anak-anakya secara resmi masuk dalam keluarga suaminya (sebatas pantangan yang tersebut).
4.3.5.6 Atatutu Teri Dan Ai Tukan
Atatutu teri sebgai pedang surik yang mempunyai nilai ini sebagai penghargaan daging hidup/na’a moris ada tiga tahap yakni (karau rua kuda ida nia folin) secara adat tanda atau simbolis sebagai hasil keringat dari orang tua wanita kain ida (tais feto ou tais mane) arti sebagai memberikan jalan/lere dalan akaderu asa, ai tukan be manas yang dibagikan oleh mempelai pria kepada keluarga wanita tersebut.
4.3.5.6.1 Uli Imi L’a Sare, Lere Dalan.
Uli imi l’a gare ne’e tradus, uli sebagai kulit (liman), ini mean, ia dan dalam sare husi liafuan sarehe, mo’os (arti dari liman kulit merah sebagai memberikan jalan) merupakan seorang laki-laki yang baru masuk ke rumah seorang gadis itu sebagai memotong rumput/lere du’ut foun hela, itu tidak disebut kata temu liman kulit merah, ou lere dalan dan pedang (surik, si, osan, akivale na’al). Katana k’roat ida ne’eba le’ere kotu du’ut ne’ebe maka iha dalan la’a ba (arti bahwa parang yang tajam itu untuk memotong rumput di jalan dan dilewati)
4.3.5.6.2 Kola Bua Guar
Biasanya kedua orang tua sambil tawar menawar materi dan jumlah belas yang memakan waktu yang berhari-hari. Ini sangat diberatkan lagi oleh tingkat diplomasi dan kewibawaan yang sangat tinggi pada pihak dari feto foun. Dalam hal ini dari feto foun berusaha semaksimal mungkin agar harga dirinya dari keluarga serta putrinya dijunjung tinggi, dihargai dan dihormati dalam keluarga mane foun. Oleh itu mereka selalu menyiapkan kain adat seperti kola-rabi, babi dan beras, sopi dan jumlah banyak untuk memberikan kepada pihak pengambil isteri sebagai balasan belis yang diterima secara adat istiadat.
Dengan mane foun yang membawa seorang gadis dari kekerabatan atau klan seorang pria yang secara resmi. Bagi pihak mane foun yang menerima balasan belis yang diberikan kepada pihak umane (omarae). Balasan tersebut yang dinamakan “kola bua guar” yang secara lunas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat yang bernama Delfin, perkawinan yang didasarkan atas dasar kekerabatan tak ada batas waktu dan akhir sebuah perkawinan. Sekalipun dari kola bua guar itu sebagai akhir dari negosiasi barlake dan juga ikatan keluarga serta orang tua. Dan kematian putrinya tetap menuntut ikatan dari kedua belah pihak yang tidak terputuskan di suatu kelak.
4.3.5.6.3 Oma Tama
Setelah tibanya di rumah adat klan mane foun, acara adat dimulai dengan penyambutan; menurut Ana Pintu, bahwa di sebelah kiri pintu rumah adat ibu mertua feto foun dalam mereceki air dalam tempurung ini kepada “asi raku, asi pada; au-edipala’a, au oma tama (temanku, masuklah ke dalam rumah)”, yang menyambut tangan sebagai seorang gadis dan membantu, dan menarik tangan ke rumah adat, dan bagi seorang pemuda yang dibantu oleh saudaranya untuk masuk ke rumah adat. Hal itu ano sobu lolo dari mane foun yang berdiri di sebelah kanan pintu rumah adat yang menyambut tangan dari feto foun dengan syair. Jadi hasil wawancara dengan tua adat yang bernama Rui mengatakan sebagai syarat untuk menyambut fanusufa ou feto foun sebagai berikut; Dai ni oma gi gube-ma’a do ni oma giala’a oma e’ere ne ai du’u ai oma do ai ne’e isi he’e aigana du’u e’ere isi he’e nana do ai gana oma gigaua nana. Ai gana la’a do ira gutu-atarau nana gana ira gana bone benu-gana atu do’e, ata gana naga taha, naga le’e bere. Artinya Kedatangan anak menantu wanita dan tinggal bersama suaminya maka semua harta benda di rumah menganggap sebagai milik bersama suaminya.
4.3.5.6.4 Material dan Pemahaman Dalam Sistem Belis.
Secara umum masyarakat Aldeia Vaniria (AV), yang mempunyai tiga sistem hafoli (patrilineal), habani (matrilineal) untuk rumah ke rumahnya (parental). Ketiga sistem tersebut di atas penulis melihat juga ada aturan-aturan yang berlaku di dalam hukum adat dianut suku makasa’e di aldeia Vaniria (AV) yakni sistem hafolin dalam (patrilineal).
Hafolin merupakan salah satu sistem dari pihak yang beristeri harus membayar sejumlah barlake/belis yang ditentukan oleh kekerabat wanita oleh karena itu, pemberian belis atau barlake dari pihak pengambil isteri diwajibkan, yang hafoli itu sendiri adalah akronim/kesepakatan yang terbentuk dari beberapa suku kata yakni “hafe fo folin” hafe yang memperisteri, fo yang memberi dan ho dengan serta folin, harga.
Di dalam suku makasa’e sistem folin itu dikenal dengan dua cara yakni membayar belis dengan tuntas dan juga dibayar cicilan. Dengan cara yang pertama seorang gadis sudah dikategorikan sebagai “tumata”. Artinya Dari pihak laki. Ada keperluan dari pihak “umane” untuk membantu baik berupa materi maupun tenaga mereka harus menyiapkan balas jasahnya seperti kain adat (gutu-gasi, rabi) binatang (babi) dan beras kafe masin midar. Dalam pengorban tumata tidak secara sia-sia saja, sedangkan cara kedua namun tidak diwajibkan untuk mekanisnya secara menyicik yang bersifat masih ada tahapnya untuk membalasnya.


4.3.5.6.5 Sistem Barlake atau Belis.
Dalam hukum adat makasa’e, belis merupakan syarat utama sebagai tanda penghargaan dan sekaligus penentuan sistem perkawinan. Sistem belis sebagai barlakuadu/perkawinan hukum adat makasa’e sebagai sistem barter dalam arti sistem tukar menukar materi. Materi yang diberikan pada sistem belis dalam perkawinan adat makasa’e ada beberapa tahap atau bagian yakni bagian pertama; materi dari tufu gibura gini/harga wanita yang disebut dengan seu mumu yakni karau, karauvaka/sapi, bibi/kambing oleh domba dan surik itu materi yang diberikan feto sa/tumata kepada omarae/umane. Bila materi yang disebutkan di atas tidak terpenuhi bisa juga digantikan dengan uang/osan. Uang/osan yang digantikan setimpal dengan harga materi yang dimaksud. Bagian kedua, materi dari pihak omara’e/umane sebagai balasan belis dari tumata/fetosan yang disebut dengan “kola bu’a dan puputa rara”, materi yang dimaksudkan dengan kain adat (gutu-gasi/tais feto dan mane). Fahi/babi, beras/fo’os, morten (manik-manik) tusuk konde (anting-anting).
Menurut pemahaman adat makasa’e dalam sistem belis tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Dalam suku/bangsa makasa’e memiliki kekhasan bahasa (istilah) yang membudayakan dalam proses adat istiadat. Penulis menampilkan jumlah materi pada sistem belis dalam bentuk tabel. Tabel pertama merupakan suatu jumlah materi dari tumata atau feto sa kepada kerabat dari wanita yang odentik dengan omarae dan umane. Tabel kedua merupakan jumlah materi dari pihak omarae dan umane kepada pihak tumata dan feto sa sebagai tanda balasan.
Tabel IX
No.
Sasan nia naran
simbol
Ekivalénsia
Destinadu
Makasa’e
Tetum
1
2
3
4
5
6
1
Surik/osan 1
Na’an moris
Ulimi i'a sare
Lere dalan
Uma-nain
2
Kuda 1
Na’an lakon
Turia oma misa
Lisensa tuku odamatan
Uma nain
3
Karau/kuda 1
Na’an lakon
á'i gimal
Oda-inan
Uma nain
4
Kuda 1
Na’an lakon
á'i gi matay á'i
Oda-oan
Uma nain
5
Kuda/osan 1
Na’an lakon
Biti loke koba daru
Nahe biti hatu’ur ritik
Uma nain
6
Kuda/osan/surik 2
Na’an lakon
Tiakai
Ai tonka
Avó mane
7
Kuda/osan/surik 2
Na’an lakon
Tiakai
Ai tonka
Avó mane
8
Karau 12
6 lakon 6
Ina duru matabixu
Inan aman matabixu
Inan-aman nian
9
Surik 1 ho folin na’an Maoris 3 nia
Na’an lakon
Ata tutu teri
Ai-tukan
Aman nian uma nain
10
Surik 1 ho folin na’an moris 5 nia
Na’an lakon
Akaderu giasa
Be’e manas
Inan nia/uma kain
11
Kuda/karau 1
Na’an moris
Ina-boba
Inan-aman
Lia-nain
12
Kuda/karau/surik osan 2
Na’an moris
Boba nia we’e/bodia bensa ma
Aman bo’ot bensa bodia
Aman bo’ot
13
Kuda/karau/surik osan 2
Na’an moris
Boba nia we’e/bodia bensa ma
Aman bo’ot bensa bodia
Aman klaran etc
14
Kuda/karau/surik osan 2
Na’an moris
Gisali gi wali
Leba hein
Na’an bo’ot
15
Kuda/karau/surik/osan
Na’an moris
Gisali gi wali
Leba hein
Na’an klaran etc
16
Kuda 1
Na’an lakon
Ira go to ata naek
Lalin ai-be
Inan-aman
17
Karau 1
Na’an moris
Seu gi umu
Na’an mate
Ta’a inan aman umane sira atu han hamutuk
18
Kuda/surik/osan 2
Na’an moris
Si mame hou, oro manehou
Surik mane foun, diman mane foun
Uma nain
19
Osan 1
Na’an lakon
Biti mutu isnelu
Haluha hela iha biti tu’ur ba
Uma nain

Keterangan:
  • Na’an adalah daging mana yang diberikan kepada orang tua dan kakak, adik, paman ka tiu mau alin dan na’an sira serta dengan nomor yang ada.
  • Na’an moris adalah sebagai tanda penghargaan dari umane sira.
  • Na’an lakon, tidak ada tanda penghargaan dari umane, sebagai tanda penghargaan dari hasil keringat oleh orang tua.
Tabel X
No
Sasan nia naran (puputa lara)
Simbolu
Makasa’e
Tetun
Destinadu
1
Roupa oi-oin feto nian
Nu’udar lembransa ba oan feto ne’ebe hatur ba nu’udar uma kain foun ketak


Oan feto
2
Tais feto no tais ki’ik mane nian


Oan feto no mane foun
3
Brinku


Oan feto no mane foun
4
Ulusuku


Oan feto no mane foun
5
Korrente


Oan feto no mane foun
6
Sandalias


Oan feto no mane foun
7
Ritik


Oan feto no mane foun
8
Instrumentu uma kain seluk tan


Oan feto no mane foun







Sasan nia naran (mutu nutu gua desi)




1
Korrente
Na’an moris sira-nia hasoru folin
Korrente
Korrente
Teknikamente fahe tuir na’an sira ne’ebe feto sa no maun alin sira tuir medida no kuantidade, la hanaran hanesan naran barlake husi feto sa sira
2
Morteen 1 tradisional
Aaba
Morten
3
Tais feto
Rabi/rabi
Tais feto
4
Tais mane bo’ot
Kola
Tais mane ki’ik
5
Tais mane ki’ik
Kola waliga
Tais mane ki’ik
6
Roupa oi-oin mane nia
Asukai gi roupa
Roupa mane nia
7
Fahi
Bai
Fahi
8
Fo’os karun
Isuara
Fo’os
9
Tua oi-oin
Ma
Tua

Total
Fo tuir na’an moris sira ne’ebe maka simu

4.3.5.6.6 Makna  Belis
Sesuai dengan jawaban dari tokoh adat berbicara mengenai makna dan nilai belis adalah sama, begitu juga responden, Delfin Marques sebagai salah satu ukuran tinggi rendahnya martabat seorang wanita. Pada umumnya seorang wanita dapat diterima dan dihargai secara khusus dalam klan tersebut, sesuai dengan jumlah belis yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Seorang gadis dengan belis yang tinggi dalam kedudukan juga tinggi dan diperlukan dengan perbuatan yang baik terhadap keluarga pria. Dengan belis dalam perkawinan adat makasa’e bemakna sebagai nilai-nilai yang dapat mengangkat harkat dan martabat seseorang berdasarkan tinggi rendahnya jumlah belis. Sebaliknya wanita dengan belis rendah mendapat kedudukan juga rendah di dalam keluarga pria.
4.3.5.6.7 Nilai Belis
Menurut Delfin tokoh/tua adat di uma lisan Suliwa mengatakan bahwa seorang wanita dengan belis yang rendah/belum tuntas diberikan, belum diidentikkan sebagai tumata (feto sa). Belum termasuk klan pria/belum diidentikkan sebagai tumata, namun suami istri, anak-anaknya masih termasuk dalam klan wanita dan pasangan suami isteri disebut (anak kandungannya).
Belis hanya simbol dan tanda ikatan kekerabatan dari kedua mempelai dan dimana perkawinan secara adat makasa’e tidak sebatas kematian sebab keturunan merupakan ikatan perkawinan yang tidak terputuskan untuk selamanya melalui belis sebagai tanda penghargaan antara kedua belah pihak antara kedua mempelai yang saling menghargai, dan untuk menentukan sistem perkawinan secara patrilineal (hafe fo ho folin).
4.4. Penyajian Data:
      Dalam penyajian data, baik data observasi maupun data wawancara, pertama tama penulis memaparkannya secara mentah dalam bentuk table berdasarkan variable penelitian. Data ditampilkan sesuai dengan sub - sub variabel. Sub -sub variable yang sama digabungkan menjadi satu. Setiap data yang ada selanjutnya dianalisis oleh penulis dengan maksud dan tujuan dari penelitian, dengan tetap menjaga keaslian data yang terhimpun.
4.4.1. Data Observasi
Data yang diperoleh dan berdasakan pengamatan dari penulis tersebut,  selanjutnya ditabulasikan dalam bentuk table data yang akurat di Aldeia Vaniria.


Hukum Kanonik.
Tabel XI
No
Variabel
Hal-hal yang diamati di lapangan
Keterangan
1.

Calon suami isteri yang hidup bersama dalam keluarga (sepanjang) sebelum diberkati oleh pastor
Pada umumnya
2.

Pastor/imam dan diakon untuk menjalankan tugas atau peranan masing-masing
Selalu ada
3.
Perkawinan menurut hukum gereja katolik
Pemberkatan dari imam/pastor paroki
Ada
4.
P emberkatan oleh diakon
Sesuai dengan situasi dan kondisi
5.

Tempat pemberkatan oleh kedua mempelai, di gereja/paroki dan kepala.
Ada
6.

Dua orang saksi dari pernikahan
Ada
7.

Persiapan perkawinan, katekis, diakon imam/pastor.
Ada
Sumber:  Data Observasi, Juli 2011
Tabel XII
Hukum Adat
No.
Variabel
Hal-hal yang diamati
Keterangan


Perkawinan berdasarkan kekerabatan
Pada umumnya


Kehadiran tokoh adat untuk berbicara pandai berbahasa kiasan simbolis
Ada


Proses perkawinan melalui tahap-tahap
Ada


Sistem perkawinan hukum adat
Ada


Syarat-syarat tentang belis tukar menukar materi
Ada
Sumber: Data Observasi, Juli 2011
4.4.2. Data Wawancara.
Data wawancara peneliti peroleh dari Para Tokoh Agama dan tokoh-tokoh adat.
Hukum Kanonik
Tabel XIII
No.
Variabel
Indikator
Jawaban dari Informan
Jumlah


1.a. Memahami tentang sabda Allah yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.
Telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia, menurut Injil Mateus 19: 1–2 Manusia hanya merencanakan Tuhanlah yang menentukan
1 Orang
1.
Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik
1b. Saudara setuju kedua mempelai yang menerima sakramen di Gereja.
Sangat setuju karena sakramen perkawinan ini sangat penting bagi kedua mempelai dan kehidupan kristiani.
1 Orang
2

2a. Ada kedua orang tua mempelai yang hadir dalam sakramen perkawinan
Perlu ada kedua orang tua sebagai saksi dalam keadaan kondisi
1 orang


2b. cincin suci diberkati oleh Pastor sebagai lambang cinta kasih
Ada ikatan cinta kasih dan kedua mempelai untuk saling mencintai juga sebagai simbol pernikahan
1 Orang
3

1a. Pastor yang mempunyai peranan penting dalam gereja
Pastor sebagai wakil kristus dalam gereja yang melaksanakan tugas dalam kondisi yang baik



1b. Sakramen peneguhan / Pernikahan
Sakramen peneguhan ini sangat penting sebelum melangkahi ke sakramen perkawinan calon mempelai, merasa yakin bahwa mereka ingin menikah
1 orang
4.

2a. Setuju sakramen perkawinan dalam satu keyakinan pada Tuhan yang diterima oleh kedua mempelai.
Suatu penghormatan bagi mereka berdua
1 orang


2b. Perlu ada keterlipatan dari kedua orang tua mempelai dalam partisipasi upacara perkawinan
Keterlipatan dari kedua orang tua mempelai dalam upacara pernikahan karena kedua orang tua mempelai sebagai saksi dari mereka

5

1a. Calon kedua mempelai harus dituntut dan syahnya dalam sakramen perkawinan
Kedua mempelai harus menurut sahnya dalam pernikahan karena menjaga nama baik, juga sebagai suatu tradisi gereja katolik



1b. sakramen perkawinan sebagai tanda lambang kedamaian dalam keluarga kedua mempelai.
Setuju sakramen perkawinan sebagai lambang kedamaian dalam keluarga kedua mempelai bahagia kesejahteraan dan kekal.
1 orang
6

1a. Efek posetif yang mempunyai suatu kebahagiaan bagi kedua mempelai.
Perlu ada kedamaian, kecintaan, keharmonisan dan persatuan didalam keluarga bahagia dan kekal.
1 orang


2b. Efek negatif dari sakramen perkawinan tantangan yang terjadi dalam keluarga calon mempelai.
Efek negatif muncul karena kedua mempelai saling perselisihan, pertengkaran, tidak ada rasa kedamaian dari efek posetif


Total


7 Orang
Sumber Data Wawancara, Juli 2011
Hukum Adat.
         Tabel XIV
No.
Variable
Indicator
Jawaban informasi
Jumlah orang
1

1. a Persiapan dari kedua calon mempelai yang menghadapi hukum adat.
Pihak wanita pada dasarnya pasif. Dalam arti pria yang pergi mencari dan meminangnya sehingga pemuda dan kerabatnya sudah menyiapkan material yang cukup memadai sebelum pergi meminang seorang gadis.
1 orang


1.b Tuntutan nilai-nilai hukum adat
Sebab perkawinan secara hukum adat melalui proses yang membudayakan dalam tahap-tahap perkawinan kedua mempelai diperbolehkan hidup bersama sistem dan nilai-nilai sosial budaya.
1 orang
2

2.a Keuntungan dari kedua mempelai dalam proses perkawinan hukum adat.
Ada keuntungan dari kedua mempelai untuk saling menerima antara kedua orang tua yang disepakati kedua mempelai membentuk suatu keluarga klan suaminya sebagai kehidupan dalam keluarga yang bertanggung jawab.
1 orang


2.b Peranan penting dalam proses perkawinan pada kedua mempelai
Peranan penting dalam keluarga kedua mempelai juga para tua-tua adat, berkaitan dengan pesta dan tak lupa membawa belis atau barlake dan serahkan keluarga wanita (omarae), keluarga pria akan membawa anak perempuan untuk ke rumah adat seorang laki-laki.
1 orang
3

1.a Larangan dalam penyelesaian secara hukum adat.
Dilarang antara dua orang yang berhubungan darah dan garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas, suami isteri tidak boleh bercerai lagi, siap yang melanggar aturan cara bandu yang menyelesaikan secara hukum adat.
1 orang


1.b Tuntutan orang tua calon mempelai wanita yang belum menerima mempelai pria yang menjadi suami
Pihak orang tua yang menuntut dari seorang pemuda, feto sa, belum memberikan sesuatu kepada umane tergantung ketentuan dari pihak feto sa.
1 orang
4

1.a Positif calon mempelai sudah memberikan belis kepada orang tua wanita yang menerima secara legal.
Kedua orang tua mempelai untuk saling mengenal dan saling menghargai, kedamaian, keharmonisan dalam keluarga mempelai sebagai feto sa dan umane.



1.b Negatif perkawinan hukum adat tentang yang terjadi dalam upacara peminangan keluarga mempelai
Negatif, belis dapat menyebabkan pertengkaran dan memperselisikan dalam keluarga sendiri antara dua pihak keluarga belis seorang lelaki sering memperlakukan isterinya yang tidak sepatutnya, tidak kedamaian dan harmonis dalam keluarga.
2 orang
5

2.a Dalam menyetujui dan menerima perkawinan adat
Dalam hal ini sering terjadi juga bahwa kedua mempelai yang setujui dan menerima perkawinan secara adat istiadat di Aldeia Vaniria sebelum kawin secara resmi entah secara adat atau kawin di aldeia Vaniria yang lebih dahulu.
1 orang


2.b Terlibat dalam upacara peminangan perkawinan
Peminangan secara adat istiadat yang menyebabkan bahwa anak-anak dan kecilnya sudah dipasang oleh kedua orang tuanya setelah dewasa diikat bersama dalam perkawinan, adanya kawin paksa.
2 orang




12 org
Sumber: Data Wawancara, Juli 2011                                  
4.4.3. Analisis Data
   Penulis hanya menampilkan dari hasil wawancara dengan para tokoh agama, Katekis, dan Tokoh-tokoh adat setempatnya.Selain data wawancara penulis juga menampilkan analisis dari data observasi yang secara langsung diambil atau diamati di lapangan. Peneliti juga mengamati secara langsung bagaimana tata cara  hidup dan kondisi masyarakat yang ada di Kampung Vaniria.
4.5. Komparasi Antara Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik dan    
        Hukum Adat di Kampung Vaniria.
            Tabel
KESAMAAN DAN PERBEDAAN


No
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik


Hukum Adat


Kesamaan


Perbedaan
1
a.   Hukum Gereja    
     Katolik
b.   Hukum Adat  
     Makasa’e
c.    Perkawinan 
     bukan hanya urusan pria dan wanita yang ingin menikah namun melibatkan orang lain/saksi atau keluarga
d.                  Tuntutan 
    materi belis sebagai syarat utama belis sebagai tanda atau simbol dalam keberhasilan dan kebanggaan dalam keluarga kedua mempelai yang diperkokoh dan tak terputuskan, tercerai untuk selamanya.
2
a.   perkawinan 
secara religious katolik
b.    Perkawinan
secara adat dapat melihatkan orang lain
c.   Bagi kerabat
kedua mempelai serta kedua orang tua. Ada saksi dari keluarganya masing-masing selain persetujuan dari hati nurani dan kedua belah pihak juga melibatkan orang lain sebagai saksi dari keuda mempelai

3
a.  Gereja katolik
b.  Adat
c. Saksi atau
keluarga hanya minimal ada dua peneguh perkawinan ada dua orang saksi.
d.  Perkawinan itu
     kehendaki oleh Allah sendiri (65, 48) yang bersifat monogamy yang tidak bercerai antara suami isteri
4
a.   Tujuan
     perkawinan gereja katolik
Tujuan hukum     adat setempat dari data yang dianalisis dalam menkonfirmasikan tujuan perkawinan adat yang pertama dan utama khususnya hukum adat di aldeia Vaniria
Perkawinan   
hukum gereja katolik dan hukum adat sama arti, saling melengkapi, saling membahagiakan, saling membantu dan saling kesejahteraan dalam kedamaian antara suami isteri
Ada kelanggaran untuk berpoligami dan tak terceraikan. Hal ini terjadi bila ada persetujuan dari isterinya, sehingga suami diperbolehkan mengambil isteri kedua bisa kesuburan bagi keluarganya.
5
Kesetiaan sebagai ciri khas perkawinan
Kesetiaan lebih diperkokoh lagi apabila ditempuh sistem pembayaran kemas kola bua guar dan disahkan peneguhan dirumah adat
Gereja katolik perkawinan mempunyai sifat hakiki yakni monogami dan tak terceraikan (Kan. 1056). Acara peneguhan ini dilarang isteri kembali ke klan asalnya, sebab telah dipericiki dengan air dari rumah adat suami dan syair oma tama.
Hukum adat sangat penting sebagai ikatan perkawinan , dan yang dikenal dengan perkawinan antara sai-oan. Persiapan dalam perkawinan secara adat yakni material oleh pihak tumata, tahap negosiasi barlake perkawinan katolik persiapan secara spiritual yang diberikan pada jangka panjang

Untuk menjawab hipotesis penelitian berikut ; ini penulis memaparkan atau argumen dan tanggapan tentang kesamaan dan perbedaan antara perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan hukum adat di kampung vaniria.
Tabel XV


No

Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik

Perkawinan Menurut Hukum Adat


Persamaan


Perbedaan
1
Proses Perkawinan Gereja Katolik adalah secara gereja katolik bahwa sebelum melakukan pemberkatan, dari kedua mempelai lebih dahulu menyelesaikan masalah adat, setelah itu mendaftarkan diri di paroki, dan paroki masih memberikan waktu untuk mengikuti kursus atau bimbingan rohani  kurang lebih tiga bulan dan diadakan pemberkatan perkawinan di gereja.
Proses Perkawinan Adat adalah proses perkawinan di kalangan suku makasae setempat, melalui tahap tahap tertentu yakni tahap peminangan sebagai tahap awal dalam proses perkawinan.
ü   

2
Pemberkatan Kedua Mempelai adalah diperbolehkan antara kedua mempelai untuk mempersatukan dalam kelurga yang bahagia.
Kola Bua Guar adalah biasanya kedua orang tua sambil tawar menawar materi dan jumlah belas yang memakan waktu dalam sehari – sehari. Perkawinan yang dapat melibatkan orang lain, dengan adanya belis sebagai ikatan perkawinan dan tak terputuskan untuk selamanya.

ü   
\3
Gereja sebagai tempat pengumpulan orang-orang Katolik
Rumah adat sebagai tempat penyimpanan barang-barang pusaka (lulik)

ü   
4
Perkawinan gereja katolik ditandai dengan cincin perkawinan sebagai ikatan hidup semati
Perkawinan secara adat ditukar dengan belis.

ü   
5
Perkawinan Gereja Katolik diberikan oleh seorang pastor
Perkawinan secara adat diberikan oleh Kepala adat (Tua adat).

ü   

4.6. Pembahasan Penulis
Hukum Kanonik adalah : Kitab Hukum yang bersandar pada warisan hukum dan perundangan Wahyu serta Tradisi, harus dipandang sebagai alat yang mutlak perlu agar terjagalah ketertiban yang semestinya. Karena Gereja didirikan sebagai ikatan sosial serta kelihatan, maka ia membutuhkan norma-norma agar terlihatlah strukturnya yang hirarkis dan organis. Supaya tugas yang diberikan oleh Tuhan, terutama pelaksanaan kuasa kudus serta pelayananan sakramen-sakramen, diatur dengan baik.
Dalam Kitab Hukum Kan.1151 “Suami –istri mempunyai kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali jika ada alas an legitim yang membebaskan mereka”. Dalam pandangan ini suami-istri diajak untuk lebih memahami arti perkawinan serta memahami nilai-nilai hidup rohani dan menerapkan dalam keluarga. Hal ini sangat penting bagi sebuah kehidupan dalam perkawinan. Namun disamping memahami nilai-nilai gereja, nilai-nilai budaya, adat-istiadat juga menjadi pandangan dan pedoman serta sebagai penupang hidup sebuah perkawinan. Karena manusia juga berasal dari adat-istiadat, dan perkawinan yang dilangsungkan atas persetujuan kedua belah pihak (keluarga suami-istri). Jadi secara logika bahwa mempertahankan serta mengikuti nilai-nilai gereja bukan berarti melepaskan hukum adat, begitupun sebaliknya mengikuti sistem adat istiadat, bukan berarti tidak menghiraukan nilai-nilai gereja. Akan tetapi kedua-duanya disatukan menjadi referensi dalam pengembangan hidup spiritualitas baik itu dari segi Gereja maupun dari adat-istiadat.
Gereja juga mempunyai peranan penting dalam mengembangkan hidup berkeluarga. Karena perkawinan merupakan titipan dari Allah, maka itu perlu manusia memahami dan mengerti secara baik mengapa gereja mempunyai peranan penting. Gereja adalah wadah  tersimpan sejuta kesejahteraan umat manusia bila manusia sendiri percaya akan gereja. Perkawinan tanpa gereja, maka perkawinan dikatakan tersesat, kendatipun dari segi perkawinan adat mempunyai pandangan yang berbeda, namun harus disadari bahwa segala bentuk apapun yang terjadi di dunia ini adalah berasal dari Allah, maka keuntungan yang  diterima melalui perkawinan adalah rahmat dari Allah.
Hukum Adat adalah : Sebuah fenomena (cara /pengalaman hidup) Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan dan diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna tersendiri karena merupakan refleksi budaya yang hidup di dalam sanubari masyarakat setempat. Sebagai satu tipe hukum adat di dunia, hukum adat mempunyai karakter yang khas. Karena hukum pada dasarnya bersenyawa dengan dengan masyarakat tempat lahir dan tumbuhnya, maka dengan sendirinya hukum adat itu merupakan wujud (yuris-fenomenalogis). Intherensi antara hukum adat dengan masyarakat (semestinya) dapat diwadahi dalam hukum adat kita. Hal demikian relevan dengan sifat dinamis dan pastis dari hukum adat kita sehingga (seharusnya) hukum adat tetap relevan dan berperan pada masyarakat kita, baik sekarang maupun yang akan datang.
Maka itu, hukum adat juga mempunyai peranan penting dalam sebuah perkawinan karena kita hidup dalam dunia sosial hidup berdampingan dengan orang lain dimana dari mereka tentu mempunyai sifat, karakter, adat-istiadat yang berbeda justru sangat penting bagi suami-istri agar lebih memahami dan mengerti bagaimana kita hidup dengan orang lain yang mempunyai perbedaan suku, ras,  daerah, dan bahasa.
Secara umum masyarakat Aldeia Vaniria (AV), yang mempunyai tiga sistem dalam perkawinan yang sistem hafoli (patrilineal), habani (matrilineal) untuk rumah ke rumahnya (parental). Ada ketiga sistem tersebut di atas penulis melihat juga ada aturan-aturan yang berlaku di dalam hukum adat dianut suku makasa’e di aldeia Vaniria (AV) yakni sistem hafolin dalam (patrilineal).
Hafolin merupakan salah satu dari sistem dalam pihak yang beristeri harus membayar dalam sejumlah barlake/belis yang ditentukan oleh kekerabat wanita oleh karena itu, perkawinan yang pemberian belis atau barlake dari pihak pengambil isteri yang diwajibkan, yang hafoli itu sendiri adalah akronim/kesepakatan yang terbentuk dari beberapa suku kata yakni “hafe fo folin” hafe yang memperisteri, fo yang memberi dan ho dengan serta folin, harga.
Di dalam suku makasa’e sistem folin itu dikenal ada dua cara yakni membayar belis dengan tuntas dan juga dibayar cicilan. Dengan cara yang pertama seorang gadis sudah dikategorikan sebagai “tumata”. Ada keperluan dari pihak “umane” untuk membantu baik berupa materi maupun tenaga mereka harus menyiapkan balas jasahnya seperti kain adat (gutu-gasi, rabi) binatang (babi) dan beras kafe masin midar. Dalam pengorban tumata tidak secara sia-sia saja, sedangkan cara kedua namun tidak diwajibkan untuk mekanisnya secara menyicik yang bersifat masih ada tahapnya untuk membalasnya




BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perkawinan sebagai suatu relitas dalam hidup manusia yang dikenal oleh segenap anggota masyarakat sebagai tahap hidup dalam peralihan yakni dari masa remaja ke masa keluarga. Dimana pria dan wanita yang ingin hidup bersama untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga harus melalui suatu proses tertentu. Dan realitas hidup manusia dalam perkawinan tidak hanya menyangkut pria dan wanita yang hendak menikah, juga melainkan melibatkan orang lain dan saksi dari keluarga, khususnya keluarga dari kedua belah pihak atau kedua mempelai yang berkompeten, pria dan wanita hanya menganut perkawinan ada dua budaya yang berbeda, yakni; perkawinan menurut hukum gereja katolik dan hukum adat khususnya di Aldeia Vaniria.
Perkawinan menurut hukum gereja katolik yang menyangkut nilai kehidupan yang mempunyai tugas suci bagi manusia untuk mengembangkan keturunan sesuai dengan gagasan kitab kejadian “beranak cuculah dan bertambah banyaki penuhilah bumi” (Kej; 1; 28). Dalam hal ini perkawinan yang dikehendaki oleh Allah sejak manusia diciptakan.
Perkawinan Gereja Katolik pada hakekatnya adalah sakramen, yang bersifat monogami dan tak terceraikan serta bertujuan untuk saling membantu, saling membahagiakan, saling menghormati, saling kesejahteraan yang kekal dan bersama-sama untuk mendidik anak-anak yang terlahir dari persekutuan hidup suami istri.
Dimana persatuan hidup dan cinta kasih antara suami istri yang dikehendaki oleh Allah sendiri demi kehidupan oleh suami istri. Dalam hal ini perkawinan tidak dapat diceraikan atas kuasa oleh manusia. Dengan demikian perkawinan menurut hukum gereja katolik dan hukum adat yang setempat adanya kesamaan dan perbedaan. Maka hipotesis penulis dapat dibenarkan.
5   2 Saran
Kepada semua lapisan masyarakat yang berkecimpung dalam aktivitas kerohanian maupun dengan adat-istiadat suatu daerah atau tempat agar tetap memberikan anjuran dan pandangan yang baik kepada semua anggota masyarakat agar sistem perkawinan yang diterapkan tidak dapat merugikan atau bertentangan dengan nilai-nilai gereja dan budaya setempat. Karena perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dijalankan sesuai dengan proses baik itu secara adat maupun secara hukum gereja.  Karena baik secara hukum adat maupun hokum gereja masing-masing mempunyai perbedaan dan persamaan. Jadi penulis mengajurkan kepada pelbagai pihak yang berkompeten agar diperhatikan dan dijalankan, demi kemurnian perkawinan dari kedua sudut pandangan tersebut dengan tidak menyeleweng atau meniadakan satu dengan yang lain dan beberapa pihak yang dimaksud adalah pemangku adat dan pemimpin gereja, pemeritah Timor-Leste serta Instituto de Ciências Religiosas (ICR).
5.2.1 Pemimpin Gereja dan Pemangku Tua Adat
Orang yang sama, pasangan suami isteri yang menganut perkawinan secara religius maupun secara hukum adat, dan keduanya mempunyai tuntutan yang berbeda. Penulis menganjurkan kepada semua yang berwewenang atau berkompeten agar mengadakan kolaborasi yang baik suatu peneguhan yang retak, dalam kenyataannya perkawinan secara hukum adat yang harus mendahului perkawinan secara katolik. Dari sudut pandang hukum gereja katolik bahwa kemurnian yang ternodai.
5.2.2 Pemimpin Gereja (Imam/Pastor)
Semua pihak yang berkompeten terlebih pemimpin gereja (imam/pastor tersebut) supaya mengadakan kerja sama dan kolaborasi yang baik demi penghargaan dan pemurnian dalam nilai hukum adat melalui inkulturasi.
5.2.3 Pemangku Tua Adat
Dalam negosiasi tentang belis dan nilai-nilai persaudaraan atau  nilai-nilai normal/moril, namun juga mempengaruhi dalam pemborosan (nilai-nilai dalam ekonomi), hingga penulis menganjurkan kepada para tua adat dalam pihak yang berkompeten agar menurunkan harga/jumlah belis bukan ditiadakan.
5.2.4 Pemerintah Timor Leste
Pasangan suami isteri yang dimaksud, juga masyarakat yang berbudaya, beragama dan bernegara. Maka pemerintah Timor Leste perlu memperhatikan identitas kultural dalam masyarakat setempat khususnya perkawinan gereja katolik, yang dimaksudkan dalam paket kurikulum dalam generasi muda dan generasi penerus mengenal, memahami dan mencintai kebudayaannya
5.2.5 Instituto de Ciências Religiosas (ICR)
São Tomás de Aquino sebagai penuntun ke arah pengembangan inkulturasi; penelitian mengenai adat istiadat/kebudayaan lokal yang mengadakan kolaborasi yang baik dan pemangku adat dan pemimpin gereja demi penghargaan dan pemurnian terhadap nilai-nilai perkawinan hukum adat melalui inkulturasi.
5.2.6 Peneliti Selanjutnya
Dalam keterbukaan kepada semua pihak yang ingin mengadakan penelitian selanjutnya, sebab skripsi ini belum memaparkan secara mendetail tentang perkawinan menurut hukum gereja katolik dan hukum adat, khususnya hukum adat di Aldeia Vaniria. Disarankan juga agar penelitinya tidak terbatas pada kesamaan dan perbedaan antara nilai-nilai yang perlu inkulturasi.















DAFTAR PUSTAKA
Beding M. B. S. 1997. Gereja Indonesia Pasca–Vatikan II,Yogyakarta Penerbit Kanisius.

Cooke B. 1991. Perkawinan Kristen, Yogyakarta: Kanisius.

Dok. Pen. KWI. Hardawiryana, R. (Penterj). 1991 Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor dan KWI.

Da Silva L. M. 2003. Barlake Tuir Emar Makasa’e–Soba. Dili Instituto Nasional de Linguistica.

Kansil, C.S. T. 1995. Modul Hukum Perdata. Jakarta Penerbit Kansil

Muhammad B. 2006. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta

Manehat Piet 1990. Agenda Budaya Pulau Timor, Atambua Timor, oleh Komisi Komunikasi Sosial.

Raden S. 2007. Bab–bab Hukum Adat, Jakarta; PT Praday Paramita.
       
Sudarsono 2005. Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta Penerbit Piseha.

Sukardi, P. D 2003. Metodologi Penelitian. Yogyakarta; PT Bumi Aksara.

Syamsudin M. 1998. Hukum dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta.

Soekanto. S. 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.           

Suwandi 1983. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta

Yosef, R. L. 1986, Yesus Teladanku Jakarta Penerbit Obor dan KWI.












DAFTAR LAMPIRAN
A.    Pertanyaan–Pertanyaan wawancara dengan para pemimipin Gereja
Katolik atau katekista setempat.
1.      1ª. Apakah anda memahami tentang sabda Allah apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan pada manusia?
1b. Apakah saudara setuju kedua mempelai yang menerima sakramen perkawinan di gereja?
2.      2ª. Perlukah kedua orang tua mempelai hadir dalam perkawinan?
2b. Apakah cincin suci diberkati olehpastor sebagai lambang cinta kasih pada kedua mempelai?
3.      1ª.Apakah pastor merupakan peranan penting dalam gereja yang memberikan pada kedua mempelai?
1b. Apakah sakramen peneguhan dan diberikan oleh pastor merupakan suatu jaminan pada calon mempelai?
4.      2ª. Apakah anda setujuh sakramen perkawinan merupakan satu keyakinan pada 
Tuhan yang diterima oleh kedua mempelai?
2b. Menggapa perlu keterlibatan dari kedua orang tua mempelai dalam partisipasi
   upacara perkawinan bagi kedua mempelai?
5.      1ª. Mengapa setiap calon kedua mempelai harus dituntut dan sahnya dalam
      sakramen perkawinan?
1b. Apakah ada tuntutan dari kedua belah pihak dalam perkawinan?
6.      2ª. Apa efek samping setelah kedua mempelai setujui mengikat janji nikah, efek
   positifnya apa dan negatifnya apa?
2b. Apa yang mau jelaskan tentang sahnya perkawinan antara kedua mempelai?
B.     Pertanyaan–pertanyaan wawancara untuk Tokoh–Tokoh Adat
1.      1ª. Mengapa perlu adanya persiapan dari kedua calon mempelai yang menghadapi
    hukum adat?
1b. Apa saja yang dilakukan dari kedua mempelai untuk memenuhi tuntutan nilai-
      nilai hukum adat?
2.      2ª. Mengapa perlu adanya belis dari kedua mempelai dalam perkawinan hukum
   adat?
2b. Apakah ada keuntungan dari kedua mempelai dalam proses dari kedua
      mempela tersebut?
3.      1ª. Mengapa perlu kehadiran dari tokoh adat pada kedua mempelai tersebut?
1b. Mengapa hukum adat merupakan peranan penting dalam proses perkawinan
   pada kedua mempelai?
4.      2ª. Apakah adanya larangan dalam proses penyelesaian hukum adat? belis kepada
orang tua wanita yang menerima secara legal?
2b. Dari pihak manakah yang memberikan nilai-nilai belis?
5.      1ª. Bagaimanakah syarat-syarat perkawinan adat Makasa’e?
1b. Apakah anda perlu adanya tuntutan orang tua calon mempelai wanita belum
diterima mempelai pria, belum menjadi suami?
6.      2ª. Apakah anda setuju dari efek positif calon mempelai pria sudah memberikan
   belis kepada orang tua wanita yang menerima secara legal?
2b. Apakah anda mengakui bahwa efek negatif dari perkawinan hukum adat
   merupakan tantangan yang terjadi dalam keluarga mempelai?
7.      1ª. Mengapa perlu adanya peminangan dalam proses perkawinan adat pada kedua
   mempelai?
1b. Bagaimana tahap negosiasi tentang belis dan tahap peneguhan?
8.      2ª. Mengapa perlu adanya kedua orang tua saling menyetujui dan menerima
perkawinan adat pada kedua mempelai?
2b. Apakah kedua orang tua yang terlibat dalam upacara peminangan keluarga
kedua mempelai?




GEOGRAFICO ALDEIA VANIRIA
Distance entre area nebe populasaun Vaniria hela ou povasaun Vaniria nia balisa/areal territorial maka tuir mai ne’e;

             Norte


 





                              Oriental                                         Ocidental





                                                           Sul
1.      Parte oriental baliza ho;
·         Daudere
·         Afabubu
2.      Parte norte balisa ho;
·         Borubatu
·         Sambuti
·         Titilari
3.      Parte occidental balisa ho;
·         Saclari
·         Ililai
4.      Parte sul balisa ho;
·         Abuti
·         Reciliu
·         Leilari
·         Gasirai
·         Lariwua
·         Vairoke






RIQUESA NATURAIS


1.      Rico soin iha aldeia laran maka tuir mai ne’e;
·         Ai kameli
·         Ai teka
·         Au
·         Ai na
·         Ai ru
·         Ai mean
·         Ai hanek
·         Magnes
·         Etc (no sel-seluk tan)
2.      Resultado agrikultura maka tuir mai ne’e;
·         Batar
·         Fehuk
·         Lakeru
·         Hare
·         Aifarina
·         Fore
·         Etc (no sel-seluk tan)
3.      Permanente maka tuir mai ne’e;
·         Has
·         Nu’u
·         Kulu
·         Kami’i
·         Hudi
·         Etc (no sel-seluk tan)



Sekretaris
Aldeia Vaniria
 
Bendahara Aldeia Vaniria

 
Sumber data dari, chefe de Aldeia Vaniria
12/07/2011
 
Keterangan:
                        = Lina do comando

                        = Lina de coordenação
 
Povos do Aldeia Vaniria
 
Sub-Lete Aldeia Vaniria
Americo da Costa
 
Chefe Aldeia Vaniria
Julião da Costa
 
STRUKTUR PEMERINTAHAN DI ALDEIA VANIRIA

Keterangan dengan nama-nama yang diwawancarai dari tokoh-tokoh agama atau para katekis dengan tokoh-tokoh adat yang di aldeia Vaniria suco Euquice.

1.      Nama-nama tokoh agama atau katekis;
a.       Ermundo dos Santos
b.      Carlos Belo
c.       Casilda Ximenes
d.      Juleta da Costa
e.       Filipe da Costa
f.       Angelina Freitas
g.      Paulino P. M

2.      Nama-nama tokoh-tokoh adat makasa’e di aldeia Vaniria
a.       Delfin Marques
b.      Rui Soares
c.       Mateus Soares
d.      Agapi Sousa
e.       Eurico dos Santos
f.       Alegira dos Santos
g.      Adão da Costa
h.      Lorenço dos Santos
i.        Duarte da Costa
j.        Celestino Soares
k.      Edelfonso dos Santos




















Dalan ba Lospalos,Sambute,Suco Sailari,Ribeira,Suco Ililae,Suco Euquisi,Estrada ba Laga,Suco Vairoque,Suco Daudere,Solegira,Aldeia Borobatu,Afadiga,Aldeia Vaniria,Ribeira,Mapa Aldeia Vaniria
 

Sem comentários:

Enviar um comentário