
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk individu sekaligus sebagai
mahkluk sosial. Dalam interaksi sosialnya, manusia diatur dan dibentuk sesuai
dengan norma-norma dan aturan–aturan dalam tradisi/budaya setempat.
Perkawinan sebagai suatu realitas hidup manusia telah
dikenal oleh segenap anggota masyarakat sebagai suatu proses peralihan, dari
masa remaja menuju ke masa dewasa (hidup berkeluarga). Yang dimaksudkan dengan
suatu proses peralihan hidup adalah
hubungan antara seorang pria dan wanita yang mana mereka ingin hidup bersama
untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga secara mandiri. Hidup yang
baik perlu adanya saling pengertian antara suami-istri. Hal ini berarti bahwa
membangun keharmonisan dalam hidup berumah tangga melalui perkawinan, menjadi
sebuah standard dan pandangan positif dari keluarga bahwa dalam membangun
keluarga peranan keluarga juga sangat penting karena baik dan buruknya sebuah
rumah tangga ditandai dengan perkawinan menjadi bagian dari semua lapisan
anggota keluarga dalam masyarakat yang bisa bertanggungjawab (khususnya
keluarga dari kedua bela pihak). Oleh karena itu perkawinan seseorang diatur
oleh keluarga dalam masyarakat yang luas, karena sebagai manusia yang hidup
berdampingan dan membangun interaksi yang luas maka itu perlu dalam perkawinan
seharusnya mengatur sebuah persatuan yang baik diantara sesama. Interaksi
sosial pada dasarnya hubungan timbl balik antara sesama dengan orang lain.
Dalam hal ini khususnya keluarga dari pihak pria dan wanita, untuk bersama-sama
bertanggungjawab atas pernikahan, dengan memenuhi tuntutan adat yang dikenal
dengan barlake. Hal tersebut merupakan suatu proses yang
berlaku secara turun temurun, yang dipahami sebagai perkawinan adat. Perkawinan
dalam pandangan hukum Gereja Katolik menyebutkan nilai kehidupan terutama tugas
suci bagi manusia dalam mengembangkan keturunan sesuai dengan gagasan Kitab
Kejadian: “ Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi” (Kej 1: 28).
Dalam hal ini perkawinan dikehendaki oleh Allah sejak manusia diciptakan. Dalam perkawinan hukum adat merupakan
suatu perkawinan dalam masyarakat yang berbudaya dan memiliki agama agar ia
tetap mengikuti nilai-nilai gereja yang berlaku. Dalam tata cara perkawinan
adat makasa’e yang dapat diatur dan disesuaikan dengan perkawinan hukum Gereja
Katolik yang dianutnya. Dengan semua latar belakang ini, penulis membuat sebuah
pertanyaan bahwa dalam perkawinan diantara Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat,
manakah yang didahulukan ? Perkawinan secara hukum Adat lalu disusul dengan
perkawinan hukum Gereja Katolik. Dalam
hukum adat maupun perkawinan hukum Gereja Katolik yang masing-masing mempunyai
tujuan, pandangan, harapan yang sama dan
tuntutan yang perlu dipenuhi.
Bertolak pada uraian latar belakang,
penulis mengangkat judul” Perkawinan
Menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat di Kampung Vaniria, Sub -Distristo
Lautem, Distrito Lautem “(Sebuah
Studi Perbandingan)”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, selanjutnya penulis
merumuskan masalahnya sebagai berikut: Sejauh mana perbedaan-perbedaan dan
persamaan-persamaan antara perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan hukum adat
di kampung Vaniria, Sub Distrito Lautem, Distrito Lautem.
1.3. Hipotesis
Ada persamaan
dan perbedaan antara Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat di
Kampung Vaniria, Sub Distrito Lautem, Distrito Lautem.
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui tentang perbedaan dan persamaan dalam
perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat.
2.
Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang
nilai-nilai terdalam dari Perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan Hukum
Adat.
1.5.
Manfaat Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi
penulis, untuk menambah wawasan yang lebih mendalam tentang Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat.
2. Membuat perbandingan serta hubungan
perkawinan antara hukum gereja dan hukum adat .
1.6. Sistematika Penulisan
Adapun Sistematika dalam penulisan ini ialah
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini penulis
menguraikan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan,
Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI: Yang memperkuat argument
penulis dalam penulisan dalam Skripsi ini adalah
teori-teori yang berhubungan dengan pemahaman dan praktek Perkawinan menurut
pandangan hukum Gereja Katolik dan hukum Adat.
BAB III METODE PENELITIAN: Meliputi Bahan atau
Materi Penulisan, Populasi dan Sampel, Ruang Lingkup Penelitian,
Jenis dan Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Observasi dan Wawancara, Dokumentasi, Teknik Analisis Data.
BAB IV PERKAWINAN MENURUT HUKUM GEREJA KATOLIK DAN
HUKUM ADAT DI KAMPUNG VANIRIA, SUB-DISTRITO LAUTEM, DISTRITO LAUTEM, Menyangkut ; Selayang Pandang tentang Kampung Vaniria dan Latar
Belakang, Penulis telah memperoleh dengan membandingkan antara Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik Dan Hukum Adat
Di Kampung Vaniria.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
dan Saran.
LANDASAN TEORI
2.1. Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik.
Gereja mempunyai peranan penting dalam
memberikan pandangan hidup yang baik kepada manusia (mempelai) bagaimana
menciptakan sebuah rumah tangga yang kuat dan kokoh dalam mendirikan sebuah
rumah tangga melalui perkawinan gereja. Karena gereja mempunyai peraturan-peraturan
hukum yang mendasar agar semua manusia dalam hal ini adalah bagaimana manusia
itu bisa mengikuti langkah-langkah yang ditetapkan oleh gereja sebelum
melangsungkan perkawinan.
2.1.1. Pengertian Hukum Gereja Katolik
Kitab Hukum Kanonik adalah salah satu Hukum Gereja yang selalu memberikan petunjuk kepada semua orang
agar dapat menghayati nilai-nilai perkawinan. Gereja didirikan sebagai Sakramen
Keselamatan yang kelihatan, membutuhkan norma-norma agar terlihatlah baik agar
tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya oleh Tuhan, dapat terlaksana kuasa
kudus serta pelayanan Sakramen-sakramen-Nya. Gereja memberikan pelayanan sesuai
dengan petunjuk hukum gereja. Untuk itu perlu adanya koordinasi supaya gereja
memberikan suatu keputusan sesuai dengan prinsip hukum gereja.
Gereja tak dapat salah merupakan karunia Roh Kudus yang
bersemayam dalam orang-orang beriman dan menerangi mata hati mereka (Cf Ef 1:
18) sehingga mereka dapat mengenal dan dengan taat mengakui sebagai Sabda
Allah, yang pasti dan dapat dipercaya sepenuhnya, Sabda yang disuruh-Nya
diucapkan dengan pasti di dalam Gereja-Nya (1 Tes 2: 18). Jadi kesempurnaan
Gereja yang pada pokoknya berkaitan dengan ajaran Gereja
berdasarkan Kitab Hukum Kanonik. Kesepakatan
nikah diakui sebagai kesepakatan yang sejati bila diberikan dengan sungguh-sungguh bebas, tidak
dipaksakan oleh orang lain, dan memuat kemauan dan pengetahuan yang benar
tentang hal-hal hakiki dari perkawinan. Hal-hal hakiki dari perkawinan itu menyangkut makna, tujuan-tujuan pokok,
dan sifat-sifat pokok. Tentang kesempatan nikah konsili vantikan II
menegaskan, bahwa Perkawinan merupakan" persekutuan
hidup, yang dibangun oleh perjanjian nikah. GS, 48: yakni persetujuan pribadi
yang tak dapat ditarik kembali bila kedua mempelai tidak Katolik, mereka harus
menyatakan kesepakatan nikah mereka dengan " forma publica ", artinya
di depan dua saksi dan seorang pejabat yang berwewenang (misalnya pendeta,
penghulu, peneguh nikah sipil dan sebagainya). Tetapi bila salah satu beragama
Katolik, kesepakatan nikah mereka harus dinyatakan dengan " forma canonica
", artinya di depan dua saksi dan seorang pejabat gereja yang berwenang
(yakni pastor paroki atau petugas pastoral lain yang mendapat delegasi
darinya). Perkawinan yang semula dikira sah tetapi ternyata tidak sah mungkin
dapat disahkan oleh gereja. Hukum Gereja Katolik mengatur hal ini pada kanon-kanon 1156-1165.
Menurut pendapat penulis bahwa “sebuah pernikahan perlu
didasari oleh rasa kemauan dalam arti dari kedua belah pihak saling menyetujui
berlangsungnya suatu perkawinan, dan perkawinan semata-mata tidak dipaksakan, karena bila sebuah perkawinan
atas dasar paksaan maka tentu perkawinan itu pada satu saat akan cacat atau
bisa terjadi perceraian karena ketidak cocokan”.
2.1.2. Tujuan, Sifat dan Dasar
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Tujuan,
sifat dan dasar perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik sangat penting dimengerti
dan dihayati oleh semua pihak teristimewa, mereka yang memutuskan untuk
membangun sebuah keluarga dalam perkawinan.
2.1.2.1. Tujuan Perkawinan Menurut Hukum
Gereja Katolik.
Tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.
Perkawinan mempunyai tiga tujuan
utama yakni: 1. Kesejahteraan bahwa dalam berumah tangga kebutuhan-kebutuhan
hidup harus diutamakan dan dipenuhi agar anak-anak merasa diperhatikan dan
mempunyai semangat hidup, dan disinilah suami-istri merasa senang dan
sejahtera. 2. Kelahiran anak bahwa tentu
tujuan yang pertama adalah mencari keturunan, namun sebagai suami istri
tanggung jawab utama adalah bagaimana membina anak-anak agar mengetahui tentang
hidup beragama serta mengenal nilai-nilai gereja. Tujuan utama ini bukan lagi
pada prokreasi atas kelahiran anak. Hal ini berpengaruh pada kemungkinan usaha
pembatasan kelahiran anak (KB). Yang dimaksudkan adalah bahwa bila tidak
menggunakan program KB (Keluarga Berencana) tentu saja menjadi salah satu
faktor penghambat dalam rumah tangga bila dikaitan atau dipandang dari mata
pencaharian/pendapatan seorang kepala keluarga setiap hari. 3. Pendidikan,
karena anak-anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka
itu sebagai suami istri harus memberikan tuntunan, dorongan, motivasi kepada anak agar memiliki semangat untuk
sekolah. Karena pendidikan adalah tuntutan zaman untuk memiliki kapasitas dalam
menjawab situasi perkembangan zaman pada saat ini. Bahwa kesejahteraan akan menjadi
patokan utama dalam hidup berumah
tangga, bila itu terjpelihara baik, maka motivasi untuk memberikan pendidikan
yang baik kepada anak-anakpun dengan baik dan sukses.
2.1.2.2.
Sifat-Sifat Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Sifat-sifat
perkawinan hukum gereja (Kan. 1056) adalah sebagai berikut:
a. Monogami adalah perkawinan yang hanya
memiliki satu istri/suami
b. Tak terceraikan, bahwa dalam ikatan perkawinan tidak ada istilah cerai atau
diceraikan kecuali oleh Allah atau kematian.
c. Perkawinan bersifat Sakramen karena
ini merupakan tanda kasih Allah, dimana suami istri saling mengasihi,
menghargai satu sama lain dan menjadi terang bagi orang lain teristimewa dalam
membina keluarga.
Persekutuan
suami isteri yang luhur dan kekal melambangkan hubungan cinta yang mesra antara
Kristus dan Gereja sehingga tidak dapat diceraikan oleh siapapun kecuali Allah
sendiri sampai maut memisahkan mereka. Hukum perkawinan yang berlaku untuk
setiap agama tentu mempunyai perbedaan, akan tetapi tidak saling bertentangan.
Hukum perkawinan secara otentik diatur
sebagai awal kodrat dari segenap umat manusia (Kej. 2: 18). Berdasarkan
pewahyuan Kitab Kejadian di atas, Yesus menegaskan kepada Kaum Farisi dan para
Rasul bahwa " Perkawinan itu dari dirinya sendiri dan hanya terbentuk dari
dua orang saja, dan ikatan itu atas kehendak Tuhan sudah begitu disatukan
sehingga tak ada seorangpun yang boleh menceraikannya (Mt 19: 5-6). Yesus
menegaskan perkawinan bagi orang kristiani bersifat monogam dan tak terceraikan.
Perkawinan yang suci dan luhur tersebut bersifat monogam dan tak terceraikan
artinya hanya mempunyai satu istri dan satu suami sampai akhir hidup. Monogam
adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita. Prinsip pernikahan
seperti ini dianut dalam Gereja Katolik Dalam Kitab 1 kor 7: 12-13; 15) Menegaskan bahwa sistem monogam
menyangkut pribadi, dimana kesetiaan dan pengorbanan suami isteri tidak dapat
diberikan kepada pria dan wanita lain dalam kondisi dan situasi apapun. Sedangkan
bersifat tak terceraikan artinya perkawinan bukan hanya sementara namun
perkawinan sampai seluruh hidup yakni kematian yang dapat memisahkannya”.
Dalam perjanjian perkawinan pria
dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dan dari sifat
kodratinya itu terarah pada kesejahteraan suami isteri serta kelahirannya dan
pendidikan anak; Oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang–orang
yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen. Oleh karena itu orang-orang yang
dibaptis, tidak ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya
merupakan Sakramen (Kan 1055).
Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah
monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan
khusus atas dasar Sakramen (Kan 1056).
Sakramentalitas perkawinan
menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan dua orang yang telah
dibaptis menjadi sakramen, sehingga tidak ada perkawinan di antara orang-orang
yang telah dibaptis yang telah dengan sendirinya sakramen (Kan 1055). Artinya,
hubungan kasih antara suami dan istri kristiani menjadi lambang dan ungkapan
nyata-kelihatan dari relasi kasih antara Kristus dan Gereja-Nya (bdk. Ef
5,22-33). Menurut pendapat penulis bahwa hubungan/relasi antara suami-istri
semakin dipererat oleh cinta kasih dan kesetiaan, ini harus dibuktihkan lewat
perilaku, sikap dan pembawaan setiap suami-istri, kesetiaan perlu dikembangkan
seperti kesetiaan Kristus kepada Bapa-Nya, begitupun dengan segala kesetiaan Ia
mengambil sikap dengan gereja dalam mewartakan sabda Allah kepada seluruh umat
manusia. Maka itu menjadi inspirasi bagi suami-istri agar selalu menjaga
keharmonisan dan kesetiaan dalam rumah tangga seperti kesetiaan Kristus kepada
Bapa-Nya.
2.1.2.3. Dasar
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Allah menciptakan manusia sebagai
seorang pria dan wanita menurut citra atau gambar-Nya sendiri, untuk saling
mencintai dan saling menbahagiakan sebagai teman hidup. Dalam realitas hidup
manusia sehari-hari, perkawinan itu mempunyai dampak lain yakni perpisahan
dangan bapak-ibu dan kemudian melanjutkan persatuan dengan membentuk sebuah
rumah tangga (suami-istri) menyatu menjadi satu sebagai suami-istri yang
berarti suatu perubahan total dari status hidup seseorang dari masa anak-anak,
remaja, menuju masa dewasa. Ia meninggalkan status sebagai anak atau remaja dan
mulai hidup baru yaitu sebagai suami isteri, sebagai pasangannya. Dalam hal ini
juga diungkapkan dalam Kitab Kejadian sebagai seorang pria akan meninggalkan
ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu
tubuh dan satu daging yang tidak dapat dipisahkan oleh orang lain. Dimana telah
terungkap dalam kitab (Kej, 2 : 24) berbicara tentang suami isteri.
Suami isteri yang mempunyai suatu
kewajiban dan hak untuk memelihara hidup bersama dan perkawinan, kecuali jika
ada alasan legitim yang membebaskan mereka (Kan 1151). Perkawinan merupakan
suatu ikatan cinta kasih yang resmi dan tetap antara seorang pria dan wanita,
yang saling mengikat hubungan diri guna
membangun suatu keluarga Kristen Katolik yang luhur dan suci.
Kesucian perkawinan
dan hidup bersama dalam keluarga membangun cinta kasih dalam hidup, karena
perkawinan yang dibentuk oleh sang pencipta, dan dilengkapi dengan
hukum-hukumNya dapat membantu kita untuk saling mematuhi satu sama lain didasarkan
atas tindakan persetujuan secara pribadi dan pemberian diri dalam hubungan satu
dengan yang lain dalam hal ini adalah suami-istri. Ikatan itu tidak tergantung
pada tingkah laku atau keinginan manusia ikatan itu suci, demi kepentingan
keluarga untuk mempertahankan keturunannya dan demi kepentingan masyarakat.
Cinta kasih dalam kesetian Allah yang begitu besar dan mulia
kepada umat- Nya (Israel) sehingga "Cinta-Nya yang luhur itu dilambangkan
sebagai ikatan cinta dalam perkawinan" (Hos, 2: 18). Perkawinan menurut
perjanjian lama (PL) merupakan lambang cinta kasih Allah kepada umat Israel. Cinta
kasih antara suami istri untuk mendapat dukungan dari kitab suci (Kej, 2: 22-24;
Ef, 25-33). Cinta kasih ini amat
manusiawi karena bersifat pribadi dan bebas.
Cinta kasih mencakup kebaikan dan ungkapan jiwa dan badan
sebagai tanda hidup perkawinan. Cinta kasih itu dimeterai dengan kesetiaan
disucikan dengan Sakramen Kristus. Dalam perjanjian Baru (PB) ikatan itupun
menjadi tanda cinta kasih Yesus Kristus terhadap gereja-Nya. Artinya cinta
kasih suami isteri berteladan pada pertahanan cinta antara Kristus dengan
gereja-Nya yang tak mengenal batas, tanpa syarat, penuh pengorbanan dan setia
seumur hidup (Ef, 5: 22-27).
Jadi penulis dapat simpulkan bahwa perkawinan itu terjadi sejak rencana
penyelamatan Allah kepada umat-Nya (Israel) dan diwujudnyatakan melalui pengorbanan Yesus dalam karya penyelamatan-Nya. Secara singkat bahwa
cinta kasih Allah kepada umat manusia yang tiada bandingnya merupakan dasar
perkawinan bagi pernikahan suami istri. Maka itu sebagai keluarga harus
menananmkan nilai-nilai gereja melalui pembinaan-pembinaan iman yang dilakukan
oleh gereja (Doutrina). Untuk itu pelaku dan pelaksana perkawinan harus
berdasarkan ajaran-ajaran gereja, karena ini menjadi salah satu momentum
terbaik untuk membina keluarga yang baik dan sejahtera. Semua ini harus diwujudnyatakan
melalui perbuatan, yang mana gereja sudah mengajarkan. Peranan dan harapan
gereja selalu memberikan yang terbaik, dan mempunyai harapan bahwa hidup akan
lebih baik, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur.
2.1.2.4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum
Gereja Katolik
Syarat-syarat sahnya perkawinan
Gereja Katolik, Menurut (Bria 2002,40), yaitu bebas dari halngan-halangan
kanonik, dengan adanya konsesus atau kesepakatan perkawinan yang dirayakan
dalam forma canonica.
Pertama, bila bebas dari
halangan-halangan kanonik artinya perkawinan itu tidak sah bila terjadi ada
pelanggaran secara kanonik (dalam kanon-kanon tertentu), dimana dalam kodex
/uris canonici 1983 terdapat dua belas kanon yang dapat menggagalkan sebuah
perkawinan yakni Kan 108-1094. Dalam halangan-halangan tersebut ikatan
perkawinan yang terdahulu (Ligament) beda agama dispartis cultus, engan
hubungan darah dan hubungan adopsinya.
Kedua, dengan adanya konsesus
artinya: dengan perbuatan dan kemauan pria dan wanita yang saling menyerahkan
dan menerima untuk membentuk suatu perkawinan dengan perjanjian yang tidak
dapat ditarik kembali. Dengan suami istri yang berjanji telah saling mencintai
dan setia seumur hidup dalam suka maupun duka.
Ketiga, perkawinan dirayakan dalam
forma Canonica (Tata peneguhan nikah). Tata peneguhan nikah forma Canonica
ordinaria, tata peneguhan nikah biasa dan forma canonica extra ordinaria, tata
peneguhan luar biasa.
Forma Canonica ordinaria yaitu
perkawinan orang Kristen Katolik dalam keadaan normal yang sekurang-kurangnya
harus dirayakan dan dihadapkan tiga orang yakni ordinaries dalam wilayah
imam/pastor paroki atau Diakon sebagai peneguh dan dua orang saksi (Kan. 1101).
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat simpulkant bahwa Perkawinan yang terjadi bukan atas kehendak
manusia itu sendiri melainkan dengan Cinta dan Kehendak Allah kepada
manusia.
2.1.2.5. Proses
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
Proses perkawinan dalam hukum
gereja katolik adalah terdiri dari beberapa tahap yakni, pertama: pendaftaran
pernikahan di gereja melalui sekretariat pada paroki masing-masing pada hari
kerja, membawa surat pengantar dari lingkungan calon mempelai baik pria maupun
wanita. Dalam hal ini surat pengantar untuk mengikuti KPP (Kursus Persiapan
Perkawinan), membawa foto kopi surat baptis. Bila semua proses ini sudah
diselesaikan maka, dari mempelai melalui katekis menghubungi pastor untuk melanjutkan
perkawinan.
2.1.2.6 Peneguhan Perkawinan Gereja Katolik.
Dalam upacara perkawinan Katolik, terbagi atas 4 bagian yakni upacara
pembukaan dan tiga upacara peralihan (Cooke 1991: 95).
1. Upacara
pembukaan. Mempelai pria dan
wanita memasuki ruang perayaan dalam
perarahan untuk memberi arahan diantar oleh kedua orang tua atau keluarga
dan para undangan.
2. Upacara peralihan pertama. Pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita duduk ditengah
orang tua atau keluarga masing–masing atau wali yang ikut berpartispasi.
3. Upacara peralihan kedua. Dalam upacara peralihan kedua inilah mempelai pria dan wanita membangun
hubungan baru yaitu setelah pewartaan Sabda, mempelai saling mengucapkan janji
perkawinan. Selanjutnya mempelai pria dan wanita saling menukar dan memasang
cincin.
4. Upacara peralihan ketiga. Mempelai diberi tugas
dengan menyalakan lilin menandakan bahwa
mereka dipanggil untuk hidup suci dan terlibat dalam karya Kristus di dunia, menanggung konsekuensi
hidup sebagai keluarga Kristen baru yakni melayani dan menghayati Sakramen
Perkawinan sebagaimana misteri paskah.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa perkawinan bukanlah kehendak
manusia melulu namun demi panggilan suci untuk melanjutkan dan mewujudnyatakan
cinta Allah kepada Gereja dengan melayani sesama dan membangun keluraga bahagia
dan kesejahteraan. Perkawinan itu sah bila adanya cinta
atau kemauan dari hati nurani pasangan
suami istri sendiri dan sebagai simbol atau tanda cinta dan ikatan perkawinan
seperti cincin dan lilin.
2.2 Perkawinan Menurut Hukum Adat
Hukum Adat adalah sebuah
fenomena (cara /pengalaman hidup)
Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan dan
diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna tersendiri karena
merupakan refleksi budaya yang hidup di dalam masyarakat. Sebagai satu tipe hukum
adat di dunia, hukum adat mempunyai karakter yang khas. Karena hukum pada dasarnya
bersenyawa dengan dengan masyarakat tempat lahir dan tumbuhnya, maka dengan
sendirinya hukum adat itu merupakan wujud (yuris-fenomenalogis). Intherensi
antara hukum adat dengan masyarakat (semestinya) dapat diwadahi dalam hukum
adat. Hal demikian relevan dengan sifat dinamis dan statis dari hukum adat kita
sehingga (seharusnya) hukum adat tetap relevan dan berperan pada masyarakat
kita, baik sekarang maupun yang akan datang.
Hukum (adat) dan perubahan
sosial adalah dua hal yang berhubungan satu sama lain bersifat paradox. Hukum
selalu tunduk pada karakter normatifnya sementara perubahan sosial berjalan
sesuai dengan kontuinitas.
2.2.1 Pengertian Hukum Adat
Pengertian Adat mencakup
keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (Mores)
dan kebiasaan umum (Folkway), meski
dalam praktek lebih mendekati pengertian kebiasaan. Adat juga diyakini sebagai
tradisi atau warisan dari leluhur yang menegakkan persekutuan di kampung dan
menjadi pola hidup generasi selanjutnya. Jadi pengertian adat harus ditempatkan
dalam konteks kebudayaan yang lebih besar bukan parsial.
Hukum Adat adalah “Suatu hukum yang berakar pada nilai-nilai
budaya, dan sepanjang perjalanan sejarah selalu mengalami penyesuaian diri
dengan kehidupan bangsa Indonesia”. (Syamsudin Machcum 1998:165).
Hukum adat di dalam bidang
perkawinan itu dapat mengubah coraknya menjadi upacara-upacara kebudayaan di
bidang kesenian dan kesusilan sesuai dengan adat, selera dan kebijaksanaan
masyarakat setempat. Maka perkawinan menurut hukum adat perlu menjalin hubungannya dengan hukum agama
agar tidak terlepas dari aturan-aturan hukum gereja yang berlaku. Maka itu
kalau menyebut pula peraturan lain maka hukum adat tetap dipertahankan sebagai
satu wadah dalam masyarakat, bukan berarti mengesampingkan hukum agama.
2.2.2. Tujuan Hukum
Adat.
Tujuan dari hukum adat adalah untuk :
a) Menjaga kestabilan nilai-nilai budaya, artinya
bahwa tujuan utama dari hukum adat adalah bahwa agar kestabilan nilai-nilai
budaya tidak dianggap sebagai suatu hal yang biasa, yang mudah diperjual
belikan begitu saja, justru harus dipertahankan dan diteguhkan agar tidak
tercoreng di mata masyarakat.
b) Mempertahankan
adat-istiadat dan tidak sewenang-wenang dipermainkan oleh manusia, hukum adat
perlu dipertahankan agar tidak mudah dirombak oleh niat-niat orang lain yang
sengaja ingin menghancurkannya.
Menjadi wadah
masyarakat dan mengikat masyarakat untuk saling menghargai.
Hukum adat mempunyai tujuan yang sama yaitu tujuan yang bersifat biologis
yakni melanjutkan keturunan (Suwando 1983: 36).
Tujuan perkawinan adat Makasae yang utama yaitu demi
kehidupan anggota keluarga (menurunkan keturunan bagi keluarga). Tujuan lain
dari perkawinan adat Makasae yakni saling membahagiakan, saling menyejahterakan
dan saling melengkapi dalam segala hal.
2.2.3. Sifat
Perkawinan Adat
Sifat perkawinan adat merupakan salah satu sifat tradisi antara
lain:
a) Salah
satu proses yang bersifat internal adalah bahwa sebelum mencalonkan atau
mempertemukan kedua calon suami istri terlebih dahulu harus membicarakan
hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat, agar terciptalah saling menerima
dan menghargai satu sama lain antara keluarga dari kedua belah pihak.
b) Perkawinan
adat tidak bersifat memaksa dan monogamy bahwa dalam pembicaraan keluarga dari
kedua belah pihak tidak ada sifat saling memaksa, tapi hanya
persetujuan cinta yang kuat timbul dari
hati kedua calon suami-istri (Kan. 1055).
c) Perkawinan
adat dikehendaki seperti ajaran Katolik atau hukum Gereja Katolik bahwa
perkawinan suami istri terjaga sehidup semati. Hal ini bertujuan agar menjaga
keharmonisan, keserasian, dan kemakmuran dalam rumah tangga.
2.2.4. Dasar Dan
Tujuan Perkawinan Menurut Adat
Dasar dan tujuan perkawinan adat adalah
menjadi momentum penting untuk membangun sebuah rumah tangga (perkawinan)
karena sebuah perkawinan tentu melalui dasar dan tahap-tahap serta mengikuti
nilai-nilai dari masing-masing budaya setempat agar lebih mengikat tali
persatuan serta tanda saling menerima keberadaan sistem dan nilai budaya orang
lain.;
2.2.4.1. Dasar Perkawinan Adat
Telah dikenal bahwa yang menjadi dasar utama dalam sistem perkawinan dalam
satu suku / budaya adalah bahwa harus
konsisten dengan apa yang sudah menjadi adat dan kebiasaan di mana kita berada,
oleh karena itu masing-masing suku, budaya maupun bangsa harus berpedoman pada hukum dan norma serta mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai masing-masing budaya setempat.
Perkawinan adat Makasae hanya mengenal sistem hafolin Bura Gini yang
terjadi pada dasar kekerabatan yang di namai “Tufu Mata ou tumata (Feto Sa)” dan “Omarae (Umane)” Tufu
mata ou tumata sebagai kelompok yang beristri dengan para putri dari Omarae ou Umane (Barlake Tuir Lisan Emar
Makasa’e-Soba).
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga
(Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal. Menurut Marques selaku tokoh adat di
Aldeia Vaniria suatu ikatan perkawinan hukum adat yang tak terputuskan dalam
keluarga di Aldeia Vaniria, perkawinan secara endogami (perkawinan dalam satu
wilayah atau lingkungan saja) masih sangat kuat dalam perkawinan adat Makasa’e.
2.2.4.2. Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan adat adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteran spiritual
dan material. Berdasarkan perkawinan adat yang dirumuskan di atas bahwa
perkawinan di kalangan suku Makasa’e yang terjadi atas dasar kekerabatan yang
terarah pada ahli waris dalam kehidupan. Prokreasi sebagai tujuan perkawinan,
untuk saling membantu dan saling melengkapi hidup berkeluarga dan
bermasyarakat. Seorang pria membutuhkan seorang wanita sebagai teman hidup melalui
perkawinan untuk bertanggungjawab atas semua keperluan rumah tangga yang
berhubungan dengan tugas sebagai ibu rumah tangga. Begipun sebaliknya, seorang
wanita membutuhkan seorang pria sebagai teman hidup demi bertanggungjawab atas
semua kebutuhan hidup termasuk salah satu adalah mencari nafkah demi kelangsungan
hidup keluarga, dalam hal ini yang berhubungan dengan tugas sebagai seorang
kepala rumah tangga. (Hal ini diberlakukan sesuai dengan Barlake Tuir Lisan
Emar Makasa’e-Soba-Mengikuti adat Makasaé Soba).
2.2.4.3. Syarat-Syarat Perkawinan Adat
Makasa’e.
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Syarat
pertama dan utama itu adalah belis yang ditentukan oleh kedua belah pihak,
sebagai ikatan perkawinan yang mengandung nilai-nilai budaya dan moral yakni dengan
belis untuk memperkokoh ikatan perkawinan sehingga tidak terjadi penceraian. Begitupun
juga mempunyai nilai kekerabatan agar dapat membina persatuan, kekeluargaan dan
keterikatan antara keluarga kedua belah pihak sekaligus sebagai pendukung
kelangsungan hidup baik secara moril maupun spiritual kepada calon suami-istri
agar mereka hidup berdampingan dan sambil memacuh dan saling meringankan beban
dan tanggung jawab mereka.
Syarat kedua bahwa persetujuan antara
kedua mempelai dalam perkawinan mempunyai tujuan dan maksud agar mereka dapat membentuk satu keluarga yang kekal, harmonis,
bahagia, sejahtera sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh semua pihak keluarga dari kedua belah pihak kedua. Dan dalam perkawinan secara adat makasa’e tanpa
ada paksaan dari pihak manapun. Dan
dalam perkawinan ini akan
diselesaikan melalui hukum adat yang berlaku di aldeia Vaniria. (Barlake
Tuir Lisan Emar Makasa’e-Soba).
2.2.4.4 Proses Perkawinan Menurut Hukum Adat
2.2.4.4.1 Umur Untuk Kawin
Pada umumnya, proses perkawinan
yang telah berlaku dalam masyarakat baik pemuda maupun pemudi dalam hukum adat
adalah sebagai berikut:
(1). Pada
pemuda.
a. Sudah tergolong mane–mane (Laki–laki) foisai
bila umur 18 tahun ke atas.
b.
Sudah tahu kerja kebun.
c.
Tahu adat istiadat setempat.
d. Sudah tahu mencari nafkah sendiri.
(2). Pada
Pemudi.
a.
Umur 17 tahun ke atas
b.
Sudah tahu mengurus pekerjaan rumah tangga.
c. Tahu tenun dan pekerjaan tangan wanita.
d. Tahu menerima tamu.
e. Dikatakan pemudi sudah tahu; Fatin To'o atau Foisai (dewasa).
(3). Tanda kedewasan lainnya.
a. Asas
dan hitamkan gigi
b. Penyutan
pemuda dalam umur remaja
c. Bila menginjak umur remajanya gadis atau
juga pemuda diberi tempat istimewa disalah satu sudut rumah yang disebut
loka. Ini jadi tempat tidurnya atau tempat
kerjanya yang tak sembarang dimasuki oleh orang lain.
2.2.4.4.2. Peminangan
Atau Pertunangan Dan Pemilihan Jodoh.
Peminangan secara adat umumnya tidak langsung dibuat
oleh pemuda sendiri, melainkan memakai perantara; ai lalete. Biasanya seorang saudara perempuan atau saudara
laki-laki ibu bersama beberapa anggota keluarga yang pergi meminang si gadis.
Cara menanyakan si gadis dalam bahasa bunga atau kiasan:
Ø
Apakah
tuan rumah ada piara babi atau kain tenun.
Uma mane sia hahan fahi–rai
tais ka lale maksudnya: Ada anak-anak gadis atau tidak. Bukan sembarang anak gadis dapat
dipinang. Sangat lazim di Aldeia Vaniria pada umumnya. Pemuda mencari atau
dicarikan tunangannya dari salah satu anak perempuan saudara laki–laki dari ibu
(Cross Cousins). Bentuk perkawinan Cross Cousins inilah yang menyebabkan bahwa
anak–anak dari kecil sudah dijodoh oleh kedua orang tuanya, untuk kemudian
setelah dewasa diikat bersama dalam perkawinan. Bila pinangan itu diterima oleh
orang tua anak gadis, maka pertunangan kedua orang muda itu diresmikan dengan: Tara Horak:Tara hela nudikin bua dikin
atau tukar melamar atau meminang gadis itu, pesta upacara kawin secara Adat:
pertapa waktu perayaan pesta kawin kedua anak muda biasanya ditentukan bersama
oleh kedua pihak orang tua: pihak wanita, Uma
Mane atau Oma-Rae (Peit, 1990:
108).
Dalam persiapan belis dari pihak pria untuk pihak wanita sesuai dengan
adat-istiadat yang berlaku di daerah atau suku setempat, dan bila semua
persiapan sudah selesai diurus dan belis pokok lainnya sudah selesai dimasukkan
oleh pihak lelaki kepada pihak wanita maka akan diadakan pesta pernikahan, dan
pada umumnya pesta pernikahan dilangsungkan di rumah wanita. Sehari sebelumnya
keluarga pemuda datang dan menginap di rumah atau di pondok klobor yang sudah disediakan. Selama
berada di rumah gadis, semua urusan makan- minum ditanggung oleh pihak gadis.
Dalam hal itu pemuda–pemudi adat kedua pihak memperbincangkan–memberikan hadiah
kawin secara matriarkat atau soal belis Takan
bua atau Loninin (sirih pinang:
belis yang bersistem patriarkat). Adapun tahap–tahap Upacara perkawinan secara
Adat sebagai berikut:
a.
Waktu
mempelai wanita diantar oleh keluarga memasuki kampung halaman
mempelai laki-laki, diadakan penerimaan
secara adat dengan syair Tetum
yang disebut: Lia Nain atau Ina Boba
(Ini lazim untuk kaum Raja atau Dom)
sedangkan rakyat kebanyakan biasa dapat
diterima dengan sapaan secara adat.
Wua–Afo,
Anu–Afo.
b.
Pada
saat hendak meresmikan perkawinan kedua mempelai salah seorang pemuka dari
pihak feto sá (pihak lelaki) mulai
berdoa kepada arwah nenek moyang dalam rumah yang disebut: Lor Fatuhun atau Ai–Oma gia
(tempat untuk menaruh barang pusaka nenek moyang agar kedua mempelai diberi
rahmat dan keturunan demi mempertahankan budaya dan adat istiadat yang sudah
diwariskan oleh nenek moyang mereka).
c.
Setelah
selesai percikan, orang mulai menyiapkan perjamuan pesta kawin.
d.
Nasihat
seorang pemuka adat Uma Mane atau Oma–Ra (dari pihak wanita) atau pihak feto sá atau Tumata (dari pihak
laki–laki) memberi petunjuk-petunjuk bagi kedua mempelai untuk hidup rukun
sebagai suami istri.
e.
Hadiah–hadiah
kecil pada pesta kawin yang diberikan oleh para undangan baik itu kenalan
maupun yang bukan famili atau yang berfamili.
2.2.4.4.3 Mas
kawin.
Melihat
tata susunan masyarakat secara geneologi adalah matrilineal (menurut garis
keturunan ibu) dan sistem perkawinannya matriarkat dan patriarkat, lokal maka
sejak nenek moyang mas kawin tidak di kenal di Aldeia Vaniria umumnya baik di
Aldeia Borbatu maupun Barliu. Di Aldeia Barliu atau Euqiuce selalu dengan
sirih–pinang; Taka bua, Lohu-bua dan
perhiasan wanita, sejak permulaan adad XX, raja–raja mulai memasukkan sistem
perkawinan patriarchat, sehingga mulai di kenal belis dipakai mata uang mas,
perak dan hewan dalam perkawinan. (Peit, 1990: 112).
Raja–raja
mulai menerima sistem baru ini dan mempraktekan dengan sistem perkawinan
patriarchat itu atas dasar–dasar seperti tertera dibawah ini.
1.
Karena
satu sistem baru yang menarik.
2.
Dengan
memakai sistem patriarchat mereka dapat membawa wanita ke pihak pria dengan
keluarganya, yang harus dibayar belis pada wanita.
2.2.5. Peneguhan Perkawinan
Upaca perkawinan, terbagi atas 4 bagian yakni upacara pembukaann dan tiga
upacara peralihan ( Cooke, 1991: 90-95).
2.2.5.1. Upacara Pembukaan
Mempelai pria dan wanita memasuki ruang perayaan dalam perarakan oleh orang
tua/keluarga dan para undangan.
2.2.5.2. Upacara Peralihan Pertama
Pada upacara peralihan pertama, mempelai pria dan wanita di tengah orang
tua/keluarga masing-masing atau wali yang ikut berpartisipasi. Sebagai saksi
sekaligus menjadi motivator kepada kedua mempelai agar tetap kuat dan tabah
dalam hidup berumah tangga.
2.2.5.3. Upacara Peralihan Kedua
Dalam upacara peralihan ini kedua mempelai mengikuti perayaan sabda,dan
setelah setelah pewartaan sabda,
mempelai saling mengucapkan janji perkawinan. Selanjutnya mempelai prtia dan
wanita saling menukar dan memasang cincin pada jari pasangan sambil
berkata;terimalah cincin ini sebagai tanda perkawinan kita, semoga cincin ini
selalu mengingatkan engkau akan cintaku padamu.
2.2.5.4. Upacara Peralihan Ketiga
Mempelai diberi tugas untuk menyalakan lilin, menandakan bahwa mereka
dipanggil untuk hidup suci dan terlibat dalam karya Kristus di dunia, yaitu
menanggung konsekuensi hidup sebagai keluarga kristen yang baru yakni melayani
dan menghayati sakramen perkawinan sebagaimana Misteri Paskah. Perkawinan ini
sah bila adanya cinta atau kemauan dari hati nurani pasangan suami istri sendiri.

METODE PENELITIAN
3.1. Bahan Atau Materi Penelitian.
Materi atau bahan penelitian yang dimaksudkan ialah
populasi dan sampel, yang menjadi obyek penelitian dan yang dikenai penelitian.
3.1.1 Populasi
Sukardi (2003:35) dalam bukunya menyatakan bahwa
populasi adalah Semua anggota
kelompok yang tinggal bersama dalam suatu tempat dan secara terencana menjadi
target suatu penelitian. Populasi yang direncanakan dalam rencana penelitian
disebut populasi target. Berdasarkan uraian–uraian di atas penulis berpendapat
bahwa populasi adalah keseluruhan subyek yang diteliti atau dijadikan obyek
penelitian.
Populasi
yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah seluruh kampung masyarakat,
Kampung Vaniria yang menjadi populasi dalam penelitian berjumlah seratus
tujuh (107) kepala keluarga (KK). Dengan delapan klan kekerabatan (Uma Lisan Wo-afo, Anu-Afo). Kabitan
Kabureno, Liuafa, Lemuasa, Baunu, Bobasa, Sulivua, Tauvua, Serentu Mor.
3.1.2 Sampel.
Menurut Sukardi (2003:54) Sampel ialah sebagian dari jumlah populasi yang
dipilih sebagai sumber data. Berdasarkan uraian data tersebut di atas
berpendapat bahwa sampel ialah sebagian populasi yang dikenai penelitian. Dalam
hal ini sampel adalah populasi akses yaitu jumlah anggota kelompok yang dapat
ditemui di lapangan dan bukan populasi target.
Dalam penelitian ini yang menjadi
sampel adalah masing–masing para tokoh Adat sebanyak empat puluh lima (45)
orang berdasarkan klan keluarga atau kekerabatan, dan guru agama lima (5) orang
sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah lima puluh (50) orang.
Dalam penentuan penulisan ini
peneliti menggunakan teknik strasifikasi. Dalam pertimbangannya bahwa suatu
populasi yang terdiri dari beberapa kelompok individual dapat terwakil yakni
semua klan (Uma Lisan Valu) yang
sebagai populasi penelitian (Sukardi, 2003: 60).
Teknik pengambilan sampel ialah
teknik strasifikasi maka sampel yang di tentukan atau dipilih dalam penelitian
ini adalah Uma Lisan Valu yang
terdapat dalam kampung Vaniria.
3. 2
Ruang Lingkup Penelitian Penulisan
Ruang
lingkup penulisan penulis membatasi diri pada” Perkawinan menurut Hukum Gereja Katolik dan Hukum Adat dikampung
Vaniria”, penelitian tersebut, dilakukan sebagai suatu studi perbandingan.
Variabel bebas atau independen. Sebab dilihat dari judul skripsi, kedua
variabel (perkawinan menurut Hukum Gereja
Katolik dan Hukum Adat) merupakan variabel bebas yang dikomparasikan. Berdasarkan
variabel tersebut di atas maka sampel dan lokasi penelitian antara kedua
variabel yang berbeda. Sebab variable tentang adat sampelnya yaitu tokoh–tokoh
agama setempat.
Sedangkan variabel kedua, lokasi penelitian adalah
stasi Euquisi Aldeia Vaniria, dan sampelnya yakni tokoh–tokoh adat setempat.
Pada stasi tersebut terdapat dibagian Makasae, sehingga penulis hanya membatasi
diri pada stasi dari Euquisi yang berjumlah seratus tujuh (107) kepala keluarga
(KK) yakni Aldeia Vaniria, yang telah dipaparkan pada bagian populasi dalam
penelitian.
3.3. Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis
Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah data kualitatif. Data kualitatif
adalah data yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat.
3.3.2 Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang dipakai oleh
peneliti yaitu:
Pertama, sumber data primer
atau data dasar (primary data basic) dan data yang diambil dan dikumpulkan
langsung oleh peneliti dari lokasi penelitian yang diolah dan dianalisis oleh
peneliti.
Kedua, sumber data sekunder adalah data-data yang telah ada dalam catatan-catatan
dalam dokumen serta teori-teori dari kepustakaan yang relevan dengan penelitian.
3.4 Teknik
Pengumpulan Data
Dalam
penulisan skripsi ini peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan tiga
teknik dalam pengumpulan data yakni teknik studi dukumen atau bahan pustaka,
pengamatan atau observasi dan wawacara atau interview.
3.4.1 Observasi
Observasi merupakan suatu cara pengamatan langsung dalam mengamati
dalam gejala yang ingin diteliti dengan panca indra (pengelihatan atau
pandangan). Dalam hal ini penulis turun langsung ke lapangan untuk melihat
secara langsung bagaimana system perkawinan yang sebenarnya ada di kampung
vaniria.
3.4.2 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data
dengan jalan komunikasi yakni kontak pribadi/hubungan antara pewawancara dengan
pihak yang diwawancara atau peresponden. Teknik wawancara yang digunakan untuk
memperoleh data peneliti menggunakan alat catat, perekam yakni tep recorder.
3.4.3 Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk
mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan transkrip,
buku, agenda, dan sebagainya. Telah disebutkan pada jenis dan sumber data bahwa
salah satu sumber informasi untuk penelitian ini diperoleh melalui keterangan
yang terdapat dalam dokumentasi atau catatan-catatan. Bahan dokumen sering
disebut penelitian kepustakaan. Penggunannya dengan cara mengidentifikasi,
mencatat, dan mengumpulkan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3.5 Teknik
Analisis Data
Teknik yang digunakan oleh peneliti untuk menganalisa
data–data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah teknik analisa
deskriptif dan eksplanatoris. Secara eksplanatoris penulis menguraikan kembali
tentang pemahaman teoritis dan praktek dalam hukum perkawinan dari berbagai referensi
yang dipergunakan. Setelah itu penulis menampilkan secara spesifik tentang
perkawinan menurut pandangan hukum gereja katolik dan hukum adat (deskriptif).
DAN HUKUM ADAT DI
KAMPUNG VANIRIA,
SUB-DISTRITO LAUTEM,
DISTRITO LAUTEM
4.1 Selayang Pandang Tentang Kampung Vaniria
4.1.1
Latar Belakang, Kampung Vaniria
Pada mulanya bangsa Portugis berada di negara Timor Leste di Aldeia
Vaniria tergolong masyarakat primitif yang tergantung dari penghasilan alam
yang ada. Aldeia Vaniria mempunyai sejarah bahwa seorang Ratu atau Liurai yang
bernama Dona Roma–Soru yang memberikan masa jabatan kepada Dom Nunu–Sama,
Taru–Sama, Resikai dengan Buli Rai–Laibuli. Pada saat itu Aldeia Vaniria
sebagai sebuah desa atau suco Vaniria yang mempunyai tiga kampung atau Aldeia
sebagai berikut:
a.
Vaniria Voite’e
b.
Vaniria Ete’e dan
c.
Afadiga
Menurut keterangan dari responden Delfin bahwa sebelum adanya Desa
Vaniria (belum berdiri sendiri), pada tahun 1939 Liurai atau Ratu Buli
Rai–Laibuli, mengembalikan masa jabatan kepada Ratu. Domingos sebagai kepala
desa Euquice dan Vaniria menjadi Aldeia sampai tahun 1942 pada waktu itu,
perang dunia kedua (Segundo Guera Mundial).
4.1.2 Keadaan Geografis di Kampung Vaniria
Secara geografis di Kampung Vaniria merupakan wilayah yang terletak
diantara Desa Euquice dan Kampung Vaniria. Pada umumnya daerah ini adalah
daerah pegunungan. Selain itu daerah tersebut memiliki daratan tinggi dan
rendah serta disekelilingi oleh pengunungan yang menjulang tinggi. Adapun
batasan-batasan dalam wilayah di Kampung Vaniria adalah sebagai berikut:
a.
Di sebelah Timur berbatasan dengan Desa Daudere
b.
Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Saelari
c.
Di sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Wairoke
d.
Di sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ililai
4.1.3 Keadaan Iklim dan Cuaca
Wilayah atau Kampung Vaniria letak geografis memiliki iklim sub-tropis, dan
daerah yang memiliki curah hujan terjadi pada bulan November hingga Mei. Pada
bulan Juni hingga Oktober terjadi pada musim Kemerau.
4.1.4 Mata Pencaharian Masyarakat Vaniria
Kehidupan ekonomis atau mata pencaharian di Desa Euqusi Kampung Vaniria
adalah merupakan salah satu daerah atau wilayah yang cukup dikenal dengan
berbagai macam jenis tanaman pangan/dagangan atau dikatakan sebagai wilayah
agraris seperti : Kelapa, Padi, jagung, kemiri, Tua (arak), Mangga, Kayu
Cendana. Kehidupan masyarakat di Kampung Vaniria dapat dikatakan cukup
menghasilkan namun kendalanya karenba daerah terpencil dan jauh jauh dari kota
bahkan sulit untuk mengekspor barang-barang usaha tersebut ke kota karena
masalah transportasi. Kendatipun barang
usaha/dagangan mereka hanya di perjual belikan dengan menggunakan sistem barter
(pertukaran barang dengan barang).
4.1.5 Keadaan Masyarakat di Kampung Vaniria
Secara umum peneliti menguraikan keadaan masyarakat di Kampung Vaniria
berdasarkan Kepala Keluarga (KK), jenis kelamin, status mata pencaharian, yang terikat,
pendidikan hasil produk nabati dan hewan (dalam potensi) di Kampung Vaniria. Untuk
lebih jelas, dapat dilihat pada table-tabel berikut ini:
- Keadaan Masyarakat berdasarkan bentuk Kepala Keluarga (KK).
Tabel I
|
No
|
Kepala Keluarga (KK) dan Jenis Kelamin
|
Jumlah
|
|
|
1
|
Kepala
Keluarga (KK)
|
107
KK
|
-
|
|
2
|
Laki-Laki
|
-
|
216
Jiwa
|
|
3
|
Perempuan
|
-
|
183
Jiwa
|
|
Total
|
107 KK
|
399 Jiwa
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
- Keadaan Masyarakat berdasarkan Jenis Kelamin dari Anak-Anak
Tabel
II
|
No
|
Jenis Kelamin dari Anak-anak
|
Jumlah
|
|
1
|
Laki-Laki
|
79
Orang
|
|
2
|
Perempuan
|
61
Orang
|
|
Total
|
140 Orang
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
- Keadaan Masyarkat berdasarkan Status
Tabel III
|
No
|
Status
|
Jumlah
|
|
1
|
Janda
|
18
Orang
|
|
2
|
Duda
|
8
Orang
|
|
3
|
Yatim Piatu
|
23
Orang
|
|
Total
|
49 Orang
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
- Keadaan Masyarakat Berdasarkan Mata Pencaharian
Tabel IV
|
No
|
Mata Pencaharian
|
Jumlah
|
|
1
|
Petani
|
90
Orang
|
|
2
|
Pedagang
|
8
Orang
|
|
3
|
Nelayan
|
9
Orang
|
|
4
|
Pegawai
|
13
Orang
|
|
5
|
Pelajar
|
390
Orang
|
|
Total
|
510 Orang
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
- Keadaan Masyarakat Vaniria Berdasarkan Tingkat Umur
Tabel V
|
No
|
Tingkat Umur
|
Jumlah
|
|
1
|
0-5 Tahun
|
68
Orang
|
|
2
|
6-16 Tahun
|
124
Orang
|
|
3
|
17 ke atas
|
231
Orang
|
|
Total
|
423 Orang
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
- Keadaan Masyarakat Vaniria berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel VI
|
No
|
Tingkat Umur
|
Jumlah
|
|
1
|
Tamatan SD
|
32
Orang
|
|
2
|
Tamatan
SMP/SLTA
|
22
Orang
|
|
3
|
Tamatan
SMA/SMU
|
36
Orang
|
|
4
|
PT/Perguruan
Tinggi
|
8
Orang
|
|
Total
|
98 Orang
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Mei 2011
- Keadaan Masyarakat Vaniria berdasarkan potensi-potensi dari hasil produk dan binatang peliharaan sebagai
a.
Dari Hasil Produk Nabati
Tabel VII
|
No
|
Jenis Produk
|
Jumlah
|
Keterangan
|
|
1
|
Kelapa
|
970
pohon
|
|
|
2
|
Kayu Jati
|
982
pohon
|
|
|
3
|
Cendana
|
197
pohon
|
|
|
4
|
Jambu Monyet
|
995
pohon
|
|
|
5
|
Pinang
|
998
pohon
|
|
|
6
|
Kayu
Putih/Merah
|
739
pohon
|
|
|
7
|
Kemiri
|
984
pohon
|
|
|
Total
|
5865 pohon
|
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Julii 2011
b.
Dari Hasil Produk Hewan
Tabel VIII
|
No
|
Jenis Produk Hewan
|
Jumlah
|
Keterangan
|
|
1
|
Kerbau
|
792
ekor
|
|
|
2
|
Kuda
|
796
ekor
|
|
|
3
|
Babi
|
8489
ekor
|
|
|
4
|
Kambing dan
Domba
|
9989
ekor
|
|
|
5
|
Ayam
|
8967
ekor
|
|
|
Total
|
36033 ekor
|
Keterangan
|
|
Sumber
data: Aldeia Vaniria Juli 2011
4.2 Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
4.2.1
Pengertian Hukum
Gereja Katolik
Dalam kanon
1055 disebutkan bahwa perkawinan adalah “perjanjian seorang laki-laki dan
seorang perempuan untuk membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup”.
Dalam kanon ini, perkawinan pertama-tama
dipahami sebagai sebuah perjanjian atau consensus untuk membangun suatu
persekutuan hidup. Pernyataan “persekutuan seluruh hidup” mau menegaskan bahwa
perkawinan mencakup dan melibatkan seluruh kehidupan suami istri, dalam segala
situasi dan kondisinya: dalam untung dan malang, dalam suasana susah dan
gembira. Ini semua berlangsung mulai sejak diucapkannya janji pernikahan,
sampai saat kematiannya. “ Seluruh hidup” mau menunjuk keseluruhan waktu selama
laki-laki dan perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan yang sah, mulai
sejak diikrarkannya janji pernikahan. Dalam hal ini, kegagalan mencapai tujuan
perkawinan bukanlah alas an untuk menuntut pemutusan ikatan perkawinan.
4.2.2. Proses Perkawinan Gereja Katolik
Dalam proses perkawinan gereja
katolik adalah bahwa sebelum melakukan pemberkatan, dari kedua mempelai lebih
dahulu menyelesaikan masalah adat, setelah itu mendaftarkan diri di paroki, dan
paroki masih memberikan waktu untuk mengikuti kursus atau bimbingan rohani
kurang lebih tiga bulan dan bila semua itu selesai maka, diadakan pemberkatan
atau perkawinana oleh gereja. Karena perkawinan yang sah seharusnya mendapat
pemberkatan dari gereja, yang diberikan seorang pastor.
4.2.3. Persiapan Rohani
Sebagai seorang kristiani yang
dibaptis melalui sakramen permandian perlu adanya pembinaan iman dan relasi
dengan Allah melalui Perantaraan Yesus Kristus. Hal ini dimaksudkan supaya ada
interaksi antara Allah dengan manusia melalui iman bahwa Roh Kudus selalu ada
dan bersama dengan Allah. Dalam hidup perkawinan salah satu faktor utama kepada
para calon mempelai baik itu pria maupun wanita perlu adanya persiapan batiniah
yang kuat sekaligus mempersiapkan diri dalam mengambil keputusan untuk sumpah
hidup semati dalam membina suatu rumah tangga yang kudus. Karena persiapan
rohani dimaksud untuk pemurnian hidup baik itu pemurnmian hidup rohani maupun
jasmani, karena kedua-duanya merupakan hubungan timbal-balik dalam mental-spiritual diri seseorang.
4.2.3.1. Mendaftarkan Diri Di Paroki
Sesuai dengan pengamatan serta
asumsi penulis bahwa sebelum
melangsungkan pernikahan perlu kedua calon mempelai mendaftarkan diri di
paroki, karena paroki merupakan salah satu cabang gereja yang didirikan atas
dasar harapan para umat dan tempat untuk
membahtikan diri kepada Alllah. Untuk itu sebelum melangsungkan perkawinan
harus melaporkan/mendaftarkan diri kepada paroki untuk memberikan petunjuk,
bimbingan, motifasi, serta harapan agar kedua mempelai melangsungkan pernikahan
serta mengarahkan hidup keluarga mereka dengan harmonis.
4.2.3.2. Mengikuti Kursus Persiapan Nikah
Salah satu syarat yang dilakukan
oleh gereja adalah bahwa setiap calon mempelai perlu adanya persiapan sebelum
memasuki tahap pernikahan. Persiapan tersebut dilakukan dengan mengikuti kursus
untuk mendapat tuntunan, bimbingan rohani, pengarahan, motifasi, mendalami
doa-doa, mengenal proses perkawinan yang baik dari para katekis dan juga pastor
yang berada di paroki. Kursus persiapan pernikahan ini sangat penting nilainya
karena dapat mengantarkan para calon perkawinan untuk lebih mendalami,
menghayati apa arti sebenarnya dalam hidup sebuah rumah tangga.
4.2.3.3. Persiapan Perkawinan (Kursus
Nikah)
Proses perkawinan perlu adanya suatu
proses persiapan. Persiapan yang dimaksudkan adalah bahwa hubungan ikatan
relasi yang baik antara keluarga pria maupun wanita, dipandang dari segi belis
atau adat istiadat. Bila ini sudah dilakukan dengan baik maka persiapan yang
lain adalah bahwa dari segi materi baik itu dari pangan maupun sandang, hal ini
bermaksud bahwa setelah perkawinan, tentu kedua mempelai sudah hidup bersama
dalam membangun satu keluarga yang bahagia.
4.2.3.4. Pengakuan Pribadi
Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak
pernah luput dari kelalain. Introspeksi, pembenahan diri melalui pengakuan
adalah salah satu jalan untuk mendapat pengampunan dari sang Ilahi. Karena
pertobatan adalah jalan menuju perubahan hidup yang baik, jujur, terbuka. Untuk
itu pengakuan selalu dilakukan oleh para calon perkawinan sebelum melangsungkan
perjanjian nikah di depan pastor, dan para saksi, dalam ikatan persekutuan
antara kedua mempelai untuk saling mencintai. Pengakuan juga
bertujuan untuk melupakan masalah-masalah yang lazim dan membuat suatu perubahan
baru dalam hidup agar mendapat ketenangan dan ketentraman dalam membina
keluarga baru.
4.2.3.5. Peneguhan Perkawinan Atau Nikah di
Gereja
Sesuai dengan pengamatan peneliti,
peneguh perkawinan/pernikahan adalah ordinaries wilayah atau imam/pastor paroki
dan diakon. Pada dasarnya imam atau pastor paroki yang aktif memberikan
sakramen-sakramen, namun bila pastor paroki (imam) ada halangan, maka
memberikan wewenang kepada diakon (calon imam) berperan aktif untuk memberikan
pemberkatan nikah pada pasangan suami-istri yang membutuhkan. Dengan demikian
seorang imam dan diakon aktif dalam peranannya masing-masing, dalam memberikan
pelayanan sakramen-sakramen termasuk sakramen perkawinan.
4.2.3.5.1. Persiapan Liturgi Perkawinan
Dalam gereja katolik pemberkatan perkawinan
selalu dilakukan dengan misa atau perayaan Ekaristi. Dalam hukum gereja menekankan
tanggungjawab para gembala umat dan komunitas umat beriman, untuk bersama-sama
mengusahakan agar hidup perkawinan dipelihara dan dikembangkan dalam semangat
kristiani. Bantuan ini diberikan bukan hanya untuk mereka yang mau
mempersiapkan perkawinan, namun juga bagi mereka yang telah menikah, supaya
bisa menghidupkan ikatan perkawinan mereka. Upaya untuk memelihara institusi
perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Allah ini bukan hanya menjadi
tanggungjawaban para gembala umat (Uskup, imam, dan diakon), namun juga menjadi
kewajiban seluruh komunitas umat beriman. Karena itu, para gembala umat sedapat
mungkin melibatkan partispasi umat beriman, khususnya mereka yang telah menikah
dan para ahli, agar dengan bantuan dan keahliannya, mereka menyumbangkan
sesuatu bagi pemeliharan institusi perkawinan.
4.2.3.5.2. Peneguhan Nikah
Tahap peneguhan sebagai
tahap akhir dalam proses perkawinan adat makasae. Tahap ini dibagi atas “ Niru tau la’a dan oma tama”. Niru tau la’a
dan oma tama dalam bahasa Indonesia
artinya ; Melewati pintu dan masuk rumah. Pemahaman sebagai adat makasae “ tupu ma’a duri” (hatun feto).
4.2.3.5.3
Pemberkatan Kedua Mempelai
Menurut para tua adat mengatakan perkawinan
secara adat melalui proses yang membudayakan di mana ada tahap-tahap perkawinan
yang telah diperbolehkan antara kedua mempelai untuk mempersatukan dalam
keluarga yang bahagia.
Keuntungan dari kedua
mempelai untuk saling menerima antara kedua orang tua yang telah disepakati
bahwa kedua mempelai, pria dan wanita yang ingin membentuk suatu keluarga atau
klan suaminya harus mampu melanjutkan kehidupan dalam keluarga yang bertanggung
jawab sebagai seorang ibu rumah tangga mendidik anak-anaknya. Sebagai seorang
bapak yang menjadi kepada ia harus mampu mencari nafkah hidup untuk melindungi
isteri dan anak-anaknya menunjukan bahwa barlake dari satu segi dapat
menguntungkan dengan sisi lain, juga dapat menghambat dalam keluarga yang
kekal.
4.2.4 Persiapan Fisik
Sebagai manusia yang memiliki akal budi tentu menunjukkan sikap dan
perbuatan. Perbuatan dapat dilakukan bila itu didasari oleh pikiran dan
perasaan. Fisik menjadi tongkat utama bagi seorang ayah maupun ibu, karena
sebagai tulang punggung keluarga yang mencari nafkah setiap hari untuk
menghidupkan keluarga (anak-anak) tentu membutuhkan kesehatan fisik yang
baik/normal. Akankah seorang ayah/ibu
menghidupkan anak-anak dengan keadaan fisik yang tidak normal. Mungkin tidak,
karena kebutuhan terpenuhi dalam keluarga bila kedua-duanya memiliki kesehatan
baik fisik maupun mental.
4.2.4.1 Persiapan Rumah Tempat Tinggal
Papan merupakan salah satu hidup
primer manusia. Untuk itu demi kelangsungan hidup atau masa depan keluarga,
istri dan anak-anak yang lebih baik, hal yang paling utama adalah Rumah/tempat
tinggal, karena ini menjadi tempat penginapan untuk semua anggota keluarga
melangsungkan hidup atau beraktivitas sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka.
Inilah tempat untuk anak-anak berkreasi, belajar, berbicara, dan mendengarkan
dan lain-lain.
4.2.4.2 Mempersiapkan Perlengkapan Untuk Nikah.
Menurut pandangan penulis
bahwa perlengkapan yang perlu
dipersiapkan dalam perkawinan adalah sebagai berikut: Cincin perkawinan,
Pakaian pengantin, untuk pakaian pengantin tergantung dari kesepakatan dari
keluarga kedua belah piha termasuk kedua mempelai.
4.2.4.3 Persiapan Kesehatan
Dalam
persiapan perkawinan satu hal yang sangat penting bagi kedua mempelai adalah
bahwa keduanya harus mempersiapkan mental secara rohano maupun jasmani. Hal ini
sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup dalam membina rumah tangga untuk
masa depan keluarga teristimewa untuk pembinaan kepada anak-anak. Kesehatan
merupakan salah satu standard hidup harmonis dan tenteram, karena dengan
kesehatan yang baik, maka kedua mempelai dengan semangat dapat mengembangkan
kreatifitas untuk kelangsungan hidup berumah tangga.
4.2.4.4 Mempersiapkan Pekerjaan atau
Mempunyai Pekerjaan
Berdasarkan pengetahuan penulis
bahwa seorang pemuda yang ingin meminang seorang gadis serta menuju
perkawawinan/pernikahan hal yang perlu dipersiapkan sebagai sandaran untuk
keduanya dalam rumah tangga ialah bahwa mempersiapkan serta mempunyai pekerjaan
yang tetap, hal ini bermaksud unutuk kelangsungan hidup rumah tangga nanti akan
terjamin dan terwujud dengan baik serta mendapat tanggapan positif dari istri
bahwa suami memang benar mempunyai tanggung jawab sehingga sebelum membentuk
rumah tangga, sudah mempunyai pandangan yang jelas untuk masa depan keluarga
mereka. Maka mempersiapkan pekerjaan dan mempunyai pekerjaan sebelum
melangsungkan perkawinan adalah salah satu cara dan persiapan yang baik.
4.3 Perkawinan Menurut Hukum Adat
Berdasarkan
hasil wawancara dengan para tokoh adat bahwa dalam hukum adat, dari pihak
wanita pada dasarnya pasif. Dalam arti bahwa pria yang pergi dan meminang atau
pemuda dan kerabat, sudah menyiapkan material yang cukup memadai sebelum pergi
meminang atau pertunangan dengan seorang gadis. Dalam hal ini yang menunjukkan
bahwa pihak pemuda yang aktif dan mencari, menyiapkan materi yang secukupnya
untuk meminang seorang gadis. Menyusul percikan kedua mempelai dengan darah
babi yang sudah campur sedikit air. Maksud dari percikan air itu, untuk
kesehatan dan kebersihan perkawinan kedua mempelai untuk menghadapi hukum adat yang menggosok di dahi
dan dada kedua mempelai. Setelah selesai percikan, mulai masuk para perjamuan
pesta kawin menurut hukum adat (menurut Marques 2011).
4.3.1 Pengertian
Hukum Adat
Hukum
Adat adalah sebuah fenomena. Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah
masyarakat dirasakan dan diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna
tersendiri dalam kelangsungan hidup masyarakat pada umumnya dan di Timor Leste
pada.
4.3.2 Proses
Perkawinan Adat
Berdasarkan
pengamatan penulis, proses perkawinan di kalangan suku makasae harus melalui
tahap-tahap tertentu yakni “ tahap peminangan” sebagai tahap awal dalam proses
perkawinan. Dalam tahap ini pihak keluarga atau orang tua pemuda menghubungi
atau mengadakan kontak pertama dengan
orang tua/keluarga sang gadis, dengan maksud meminang gadis yang
dimaksud bagi saudara atau putranya.
Tahap berikutnya adalah
“tahap negosiasi barlake”. Pada tahap inilah yang akan berbicara tentang jumlah
atau banyaknya materi yang akan diberikan kepada kerabat si gadis yang disebut
dengan barlake atau preço de mulher. Setelah
ketentuan barlake diterima oleh pihak keluarga pemuda yang disebut dengan kesi apa (ijuk dan batu), barlake akan diberikan pada waktu yang
telah disepakati bersama.
Tahap yang terakhir
adalah tahap peneguhan perkawinan. Pada tahap ini wanita secara resmi masuk
dalam klan pihak pria dan sah sebagai istrinya. Seorang gadis diterima di dalam
klan (rumah adat) suaminya dengan syarat tertentu. Proses peneguhan perkawinan
dimulai dari rumah adat wanita menuju rumah adat pria. Secara singkat proses
perkawinan adat makasae di Suku Vaniria melalui tiga tahap yakni tahap
peminangan, negosiasi barlake dan
peneguhan perkawinan.
4.3.3
Perkawinan
Adat Makasae
Perkawinan merupakan salah satu bentuk
interaksi sosial dalam hidup
bermasyarakat, dimana perkawinan itu bukan hanya urusan pasangan suami
istri melulu melainkan juga melibatkan masyarakat luas pada umumnya dan lebih
khusus anggota keluarga dari kedua belah pihak. Bentuk interaksi ini terikat
pada norma dan nilai-nilai budaya setempat. Inilah yang terjadi pada praksis
perkawinan adat makasae sebagaimana dialami juga oleh masyarakat Timor umumnya.
Sehubungan dengan itu, pada bagian ini penulis akan menuangkan secara khusus
mengenai perkawinan adat makasae di Kampung Vaniria berdasarkan keterangan dan
informasi-informasi yang diperoleh peneliti melalui observasi dan wawancara
dengan para tokoh adat dan tokoh-tokoh agama setempat.
Data-data tersebut
tidak dituangkan lagi secara mentah, namun telah diolah dari data hasil
penelitian oleh penulis sesuai dengan maksud dan tujuan penulisan, Dalam
penyajian ini penulis tidak dapat menguraikan secara mendetail namun membatasi
diri pada dasar dan tujuan perkawinan, proses awal perkawinan, tahap-tahap dan
sistem perkawinan, material dan pemahaman dalam sistem barlake.
4.3.4 Sistem Barlake Atau Belis
Berdasarkan pengamatan
penulis, sistem barlake di kalangan suku makasae adalah tukar menukar materi.
Materi yang diberikan oleh pihak tupu
mata adalah kerbau, sapi, kambing atau domba, surik dan uang, yang secara
adat disebut dengan “seu do mumu”
artinya daging dan logam atau besi dari pihak tupu mata. Sedangkan materi yang
diberikan oleh pihak oma rae sebagai
balasan adalah utusari rabi atau tais
mane, tais feto, babi, beras, batik, morten dan anting-anting yang secara adat disebut dengan kola bu’a dan puputa rará.
Dalam sistem barlake materi-materi yang disebutkan di atas adalah statis. Dalam
arti materi-materi yang diberikan oleh pihak atau keluarga pria tidak boleh diberikan oleh oma rae/umane (pihak keluarga wanita)sebagai
balasannya. Dalam acara adat-istiadat termasuk perkawinan, pihak tumata pantang (dilarang) materi-materi daging
yang diberikan kepada pihak or.
Misalnya daging babi tidak boleh diberikan kepada pihak pemberi istri (or).
Sebaliknya tm pantang apa yang
diberikan kepada orang sebagai barlake
atau preço de mulher.
4.3.5
Tahap-Tahap
Perkawinan Adat
Dalam prose perkawinan
adat makasae, mengenal tiga tahapan perkawinan antara lain; Tahap
melamar/meminang, negosiasi barlake,
dan tahap peneguhan perkawinan.
4.3.5.1 Tahap Melamar Atau Meminang
1. Peminangan
merupakan acara adat umumnya tidak . berlangsung dibuat oleh pemuda sendiri,
melainkan memakai perantara; “ai dalan
lalete”. Biasanya seorang saudara perempuan atau saudara laki-laki ibu
bersama beberapa keluarga yang pergi meminang seorang gadis.
2.
Dengan proses meminang atau pelamaran, biasanya tidak
berbicara secara terbuka, namun menggunakan kata-kata dalam bahasa bunga atau
kiasan, sehingga kata-kata dapat disesuaikan dengan musim atau situasi dan
kondisi tertentu.
3.
Pada musim hujan ditempat tinggal seorang gadis yang terdapat tanaman
bunga, maka ano gisobu lolo (bagaimana
tentang adat dari kedua pihak keluarga) berbicara tentang dari pihak pemuda
secara simbolis mengatakan maksud kedatangannya bahwa ano mata (kedatangan anak laki)
atau fimata fi isidomau le ere,
atefu-fulai va do fi oma fanukai isi hee ereni megau lita duulu mega au lita girau ou leta duulu eregau mau
seti, gupulaa ni oma (kedatangan anak laki-laki kita untuk mengunjungi rumah kita).
4.
Muni giduulu gini
mana, ni oma murni ailas nana”. Artinya bahwa kedatangan kami ingin mau
meliaht tanaman bungan di depan halaman rumah cukup subur maka kami mau ingin
minta menghiasi di depan rumah kami.
5.
Pada waktu itu orang tua wanita belum member jawaban
yang pasti dan orang tua wanita belum memberi jawaban yang pasti dan orang
tuanya belum ada menanggapi secara simbolis bahwa “atefu-fulai duulu duni, buras duni maibe dado bounu do rega dada bounu
do pala”. Artinya bunga di halaman rumah itu memang subur, tetapi banyak
orang yang sama-sama menyirami dan memeliharanya.
6.
Bila ada lamaran yang terjadi pada musim tanam maka ada
ano sobu lolo dari seorang pemuda
yang mendatangi keluarga seorang gadis mengatakkan bahwa “ano mata fiisi damau-fi isi maeen do fi inudaru fi resa fasu uu seti
nana ae-ai duguru leere hee gau dene fi isi daa mau fi isi maeen do fi inudaru
firesafosu uu sete do ma ni ama saunu nana, ni keta liri nana”. Artinya kehadiran
dari anak laki-laki untuk mengunjungi rumah kita dengan tujuan untuk meminta
anak perempuan.
4.3.5.2 Tahap Negosiasi Belis
Pada mulanya tentang belis itu dari kekerabatan dari calon bagi iragotu atali mane foun yang mendatangi
bersama dengan keluarga calon fanusu fa
ou girahana. Artinya Menantu anak perempuan. Untuk menentukan sistem belis
yang akan ditempuh yakni dari sistem “kesiapan” dan sistem “nitufu gibura lolo”. Artinya Membicarakan
belis menantu anak perempuan.
Sistem kesi apa artinya dan penahanan negosiasi itu secara adat makasae
bahwa banyaknya belis yang diberikan dari calon fanufa ou girahana dan feto
foun itu yang dibayar secara sistem adat pada tufu gibura gini. Oleh karena itu kedatangan dari calon manefoun belum memberikan sesuatu
kerabatan kepada calon feto foun.
Maka kerabatan atau ikatan calon luas kawin atau mane foun datang hanyalah utusan dari keluarga atau nia boba gisobu lolo.
Dalam proses kesi apa gibura lolo
dari keluarga masing-masing duduk bersama untuk membicarakan mengenai masalah feto foun an mane foun dan kesempatan
antara kedua calon mempelai dan saling memberikan barang ke barang karena
melalui proses ke siapa keluarga feto
foun yang memberikan sejumlah biji jagung sebagai pengantar ijuk atau batu (kesi apa).
Dari calon mempelai pria/manehou sudah mampu untuk memberikan sejumlah
belis sesuai dengan ketentuan dari pihak orang tua yang diterima dari kerabat
calon mempelai wanita/fanusufa atau panup
feto foun, mereka mendatangi kerabat
seorang gadis. Kedatangannya untuk menentukan waktu bagi proses berikutnya
yakni sistem tufu bura gusi, tufu bura
lolo. Dalam pemahaman secara hukum adat makasae bahwa belis dan calon fanusufa ou feto foun yang akan menikah
nanti. Sistem tufu bura gi bura gini
inilah proses awal dengan acara pemberian dan penerimaan belis. Sistem ini
ditempuh dalam beberapa tahap yakni tufu
tia la’a dan finuku fidata, tatutu teri, uli imi la sare, bua guar gikola gibua, panupa atau fanusufa.
Artinya Kedatangan orang baru dalam hal ini adalah anak menantu perempuan.
4.3.5.3 Tahap Peneguhan Secara Hukum Adat.
Tahap
peneguhan merupakan tahap akhir dalam proses perkawinan secara hukum adat
makasa’e setempat. Tahap ini dibagi atas, ona
tama dalam bahasa Indonesia, melewati pintu dan masuk rumah. Pemahaman secara
adat makasa’e tufu ma’a nu’a dusi (hatun feto). tidak terputuskan di suatu kelak.
4.3.5.4 Tufu tia la’a dan Finuku-Fidata
Setelah
tiba waktu yang ditentukan untuk mulai proses pelaksanaan tawar menawar belis/barlakeadu, sebelumnya saudari kandung
seorang pemuda terlebih dahulu menjemput seorang gadis dari rumahnya.
Penjemputan tepat pada hari negosiasi belis dimulai. Setibanya di rumah, orang
tua atau ibu kandung pria ou namirae, menerimanya dengan menggunakan
satu kain adat wanita tufu rae (rabi) sambil mengatakan “asi raku ou edipala’a-ou oma tama”. Maudo
ira ma’a oma mutu é gutu, ata ma’a
oma mutu é doe. Ira gana la’a boru benu, ata gana la’a le’e berei. Artinya sahabatku
mari dan masuklah ke dalam rumah, mengisi air di rumah ini, agar penuh kuali,
menghidupkan api di rumah ini hingga terang terbakar bagus.
Siang
dan sore pihak pemberi isteri atau umane
tiba, calon suami isteri telah dihiasi dengan kain adat (kola-rabi) oleh kerabat pria. Keduanya bersama-sama di dalam adat.
Merebus air di dalam panci yang terbuat dari tanah liat sambil mengipas api
dengan kipas yang dibuat dari anyaman daun lontar, sehingga tawar menawar belis
sampai selesai dengan negeosiasi.
4.3.5.5 Finuku dan Fidata
Nuku-data berarti mengembalikan
secara adat bahwa mengembalikan nama klan atau marga dari fanusufa. Anu sobu dari kerabat mane
foun, manehou mendatangkan keluarga dari fanufufa feto foun mengatakan “anu-mata
nisae niaali isi mau le’ere tamba atefu-fulai
ini aihu’uru, ahi nana ini la’a aihu’uru le’ere gaudete fi isi ma’u fimuku isi
é nana-fidata é nana. Gana rai’ isa rarau ulirarau, uligaga, amu gaga .
Artinya kedatanganku ini karena mataku melihat bunga telah subur dan berbuah
baik sehingga saya ingin mengembalikan nama baik menantuku ia melahirkan dengan
sehat.
Menurut Delfin sebagai tokoh adat bahwa pengambilan nama baik biasanya
kerabat mane foun memberikan satu
ekor kerbau atau kuda, satu ekor kambing serta sepucuk pedang (si lafu u’u ou lafi lolo’e). Dalam rumah
ini dari kerabat feto foun tidak
membalasnya dengan sesuatu maka cinta kasih orang tuanya memberikan satu atau
dua kain batik kepada putrinya.
Dengan nuku (marga) data istri dan anak-anaknya pantang bersama dengan
keluarga seorang wanita boleh makan daging babi dan tidak boleh makan daging
ayam, sebaliknya dari keluarga pria, makan acara ini secara adat istri dan
anak-anakya secara resmi masuk dalam keluarga suaminya (sebatas pantangan yang
tersebut).
4.3.5.6 Atatutu Teri Dan Ai Tukan
Atatutu teri sebgai pedang surik
yang mempunyai nilai ini sebagai penghargaan daging hidup/na’a moris ada tiga tahap yakni (karau rua kuda ida nia folin)
secara adat tanda atau simbolis sebagai hasil keringat dari orang tua wanita
kain ida (tais feto ou tais mane) arti sebagai memberikan jalan/lere dalan akaderu asa, ai tukan be manas
yang dibagikan oleh mempelai pria kepada keluarga wanita tersebut.
4.3.5.6.1 Uli Imi L’a Sare, Lere Dalan.
Uli imi l’a gare ne’e tradus, uli
sebagai kulit (liman), ini mean, ia
dan dalam sare husi liafuan sarehe, mo’os (arti dari liman
kulit merah sebagai memberikan jalan) merupakan seorang laki-laki yang baru
masuk ke rumah seorang gadis itu sebagai memotong rumput/lere du’ut foun hela, itu tidak disebut kata temu liman kulit
merah, ou lere dalan dan pedang (surik, si, osan, akivale na’al). Katana k’roat ida ne’eba le’ere kotu du’ut
ne’ebe maka iha dalan la’a ba (arti bahwa parang yang tajam itu untuk
memotong rumput di jalan dan dilewati)
4.3.5.6.2 Kola Bua Guar
Biasanya kedua orang tua sambil tawar menawar materi dan jumlah belas
yang memakan waktu yang berhari-hari. Ini sangat diberatkan lagi oleh tingkat
diplomasi dan kewibawaan yang sangat tinggi pada pihak dari feto foun. Dalam
hal ini dari feto foun berusaha semaksimal mungkin agar harga dirinya dari
keluarga serta putrinya dijunjung tinggi, dihargai dan dihormati dalam keluarga
mane foun. Oleh itu mereka selalu menyiapkan kain adat seperti kola-rabi, babi
dan beras, sopi dan jumlah banyak untuk memberikan kepada pihak pengambil
isteri sebagai balasan belis yang diterima secara adat istiadat.
Dengan mane foun yang membawa seorang gadis dari kekerabatan atau klan
seorang pria yang secara resmi. Bagi pihak mane foun yang menerima balasan
belis yang diberikan kepada pihak umane
(omarae). Balasan tersebut yang
dinamakan “kola bua guar” yang secara
lunas.
Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat yang bernama Delfin,
perkawinan yang didasarkan atas dasar kekerabatan tak ada batas waktu dan akhir
sebuah perkawinan. Sekalipun dari kola
bua guar itu sebagai akhir dari negosiasi barlake dan juga ikatan keluarga serta orang tua. Dan kematian
putrinya tetap menuntut ikatan dari kedua belah pihak yang tidak terputuskan di
suatu kelak.
4.3.5.6.3 Oma Tama
Setelah tibanya di rumah adat klan mane
foun, acara adat dimulai dengan penyambutan; menurut Ana Pintu, bahwa di
sebelah kiri pintu rumah adat ibu mertua feto
foun dalam mereceki air dalam tempurung ini kepada “asi raku, asi pada; au-edipala’a, au oma tama (temanku, masuklah ke
dalam rumah)”, yang menyambut tangan sebagai seorang gadis dan membantu, dan
menarik tangan ke rumah adat, dan bagi seorang pemuda yang dibantu oleh
saudaranya untuk masuk ke rumah adat. Hal itu ano sobu lolo dari mane foun yang berdiri di sebelah kanan pintu
rumah adat yang menyambut tangan dari feto
foun dengan syair. Jadi hasil wawancara dengan tua adat yang bernama Rui
mengatakan sebagai syarat untuk menyambut fanusufa
ou feto foun sebagai berikut; Dai ni
oma gi gube-ma’a do ni oma giala’a oma e’ere ne ai du’u ai oma do ai ne’e isi he’e aigana du’u e’ere isi he’e
nana do ai gana oma gigaua nana. Ai
gana la’a do ira gutu-atarau nana gana ira gana bone benu-gana atu do’e, ata
gana naga taha, naga le’e bere. Artinya Kedatangan anak menantu wanita dan
tinggal bersama suaminya maka semua harta benda di rumah menganggap sebagai
milik bersama suaminya.
4.3.5.6.4 Material dan Pemahaman Dalam
Sistem Belis.
Secara umum masyarakat Aldeia Vaniria (AV), yang mempunyai tiga sistem
hafoli (patrilineal), habani (matrilineal) untuk rumah ke rumahnya (parental). Ketiga
sistem tersebut di atas penulis melihat juga ada aturan-aturan yang berlaku di
dalam hukum adat dianut suku makasa’e di aldeia Vaniria (AV) yakni sistem
hafolin dalam (patrilineal).
Hafolin merupakan salah satu
sistem dari pihak yang beristeri harus membayar sejumlah barlake/belis yang
ditentukan oleh kekerabat wanita oleh karena itu, pemberian belis atau barlake dari pihak pengambil isteri
diwajibkan, yang hafoli itu sendiri adalah
akronim/kesepakatan yang terbentuk dari beberapa suku kata yakni “hafe fo folin” hafe yang memperisteri, fo yang memberi dan ho dengan serta folin, harga.
Di dalam suku makasa’e sistem folin
itu dikenal dengan dua cara yakni membayar belis dengan tuntas dan juga dibayar
cicilan. Dengan cara yang pertama seorang gadis sudah dikategorikan sebagai “tumata”. Artinya Dari pihak laki. Ada
keperluan dari pihak “umane” untuk
membantu baik berupa materi maupun
tenaga mereka harus menyiapkan balas jasahnya seperti kain adat (gutu-gasi, rabi) binatang (babi) dan
beras kafe masin midar. Dalam
pengorban tumata tidak secara sia-sia saja, sedangkan cara kedua namun tidak
diwajibkan untuk mekanisnya secara menyicik yang bersifat masih ada tahapnya
untuk membalasnya.
4.3.5.6.5 Sistem Barlake atau Belis.
Dalam hukum adat makasa’e, belis merupakan syarat utama sebagai tanda
penghargaan dan sekaligus penentuan sistem perkawinan. Sistem belis sebagai
barlakuadu/perkawinan hukum adat makasa’e sebagai sistem barter dalam arti
sistem tukar menukar materi. Materi yang diberikan pada sistem belis dalam
perkawinan adat makasa’e ada beberapa tahap atau bagian yakni bagian pertama;
materi dari tufu gibura gini/harga
wanita yang disebut dengan seu mumu
yakni karau, karauvaka/sapi, bibi/kambing oleh domba dan surik itu materi yang diberikan feto sa/tumata kepada omarae/umane. Bila materi yang
disebutkan di atas tidak terpenuhi bisa juga digantikan dengan uang/osan. Uang/osan yang digantikan setimpal dengan harga materi yang dimaksud.
Bagian kedua, materi dari pihak omara’e/umane
sebagai balasan belis dari tumata/fetosan
yang disebut dengan “kola bu’a dan puputa rara”, materi yang dimaksudkan
dengan kain adat (gutu-gasi/tais feto dan
mane). Fahi/babi, beras/fo’os, morten (manik-manik) tusuk konde (anting-anting).
Menurut pemahaman adat makasa’e dalam sistem belis tidak dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Dalam suku/bangsa makasa’e memiliki
kekhasan bahasa (istilah) yang membudayakan dalam proses adat istiadat. Penulis
menampilkan jumlah materi pada sistem belis dalam bentuk tabel. Tabel pertama
merupakan suatu jumlah materi dari tumata
atau feto sa kepada kerabat dari
wanita yang odentik dengan omarae dan
umane. Tabel kedua merupakan jumlah
materi dari pihak omarae dan umane kepada pihak tumata dan feto sa
sebagai tanda balasan.
Tabel IX
|
No.
|
Sasan nia naran
|
simbol
|
Ekivalénsia
|
Destinadu
|
|
|
Makasa’e
|
Tetum
|
||||
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|
1
|
Surik/osan 1
|
Na’an moris
|
Ulimi i'a sare
|
Lere dalan
|
Uma-nain
|
|
2
|
Kuda 1
|
Na’an lakon
|
Turia oma misa
|
Lisensa tuku odamatan
|
Uma nain
|
|
3
|
Karau/kuda 1
|
Na’an lakon
|
á'i gimal
|
Oda-inan
|
Uma nain
|
|
4
|
Kuda 1
|
Na’an lakon
|
á'i gi matay á'i
|
Oda-oan
|
Uma nain
|
|
5
|
Kuda/osan 1
|
Na’an lakon
|
Biti loke koba daru
|
Nahe biti hatu’ur ritik
|
Uma nain
|
|
6
|
Kuda/osan/surik 2
|
Na’an lakon
|
Tiakai
|
Ai tonka
|
Avó mane
|
|
7
|
Kuda/osan/surik 2
|
Na’an lakon
|
Tiakai
|
Ai tonka
|
Avó mane
|
|
8
|
Karau 12
|
6 lakon 6
|
Ina duru matabixu
|
Inan aman matabixu
|
Inan-aman nian
|
|
9
|
Surik 1 ho folin na’an Maoris 3
nia
|
Na’an lakon
|
Ata tutu teri
|
Ai-tukan
|
Aman nian uma nain
|
|
10
|
Surik 1 ho folin na’an moris 5
nia
|
Na’an lakon
|
Akaderu giasa
|
Be’e manas
|
Inan nia/uma kain
|
|
11
|
Kuda/karau 1
|
Na’an moris
|
Ina-boba
|
Inan-aman
|
Lia-nain
|
|
12
|
Kuda/karau/surik osan 2
|
Na’an moris
|
Boba nia we’e/bodia bensa ma
|
Aman bo’ot bensa bodia
|
Aman bo’ot
|
|
13
|
Kuda/karau/surik osan 2
|
Na’an moris
|
Boba nia we’e/bodia bensa ma
|
Aman bo’ot bensa bodia
|
Aman klaran etc
|
|
14
|
Kuda/karau/surik osan 2
|
Na’an moris
|
Gisali gi wali
|
Leba hein
|
Na’an bo’ot
|
|
15
|
Kuda/karau/surik/osan
|
Na’an moris
|
Gisali gi wali
|
Leba hein
|
Na’an klaran etc
|
|
16
|
Kuda 1
|
Na’an lakon
|
Ira go to ata naek
|
Lalin ai-be
|
Inan-aman
|
|
17
|
Karau 1
|
Na’an moris
|
Seu gi umu
|
Na’an mate
|
Ta’a inan aman umane sira atu han hamutuk
|
|
18
|
Kuda/surik/osan 2
|
Na’an moris
|
Si mame hou, oro manehou
|
Surik mane foun, diman mane
foun
|
Uma nain
|
|
19
|
Osan 1
|
Na’an lakon
|
Biti mutu isnelu
|
Haluha hela iha biti tu’ur ba
|
Uma nain
|
Keterangan:
- Na’an adalah daging mana yang diberikan kepada orang tua dan kakak, adik, paman ka tiu mau alin dan na’an sira serta dengan nomor yang ada.
- Na’an moris adalah sebagai tanda penghargaan dari umane sira.
- Na’an lakon, tidak ada tanda penghargaan dari umane, sebagai tanda penghargaan dari hasil keringat oleh orang tua.
Tabel X
|
No
|
Sasan nia naran (puputa lara)
|
Simbolu
|
Makasa’e
|
Tetun
|
Destinadu
|
|
1
|
Roupa oi-oin feto nian
|
Nu’udar
lembransa ba oan feto ne’ebe hatur ba nu’udar uma kain foun ketak
|
|
|
Oan
feto
|
|
2
|
Tais feto no tais ki’ik mane nian
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
3
|
Brinku
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
4
|
Ulusuku
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
5
|
Korrente
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
6
|
Sandalias
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
7
|
Ritik
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
8
|
Instrumentu uma kain seluk tan
|
|
|
Oan
feto no mane foun
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Sasan nia naran (mutu nutu gua
desi)
|
|
|
|
|
|
1
|
Korrente
|
Na’an
moris sira-nia hasoru folin
|
Korrente
|
Korrente
|
Teknikamente
fahe tuir na’an sira ne’ebe feto sa no maun alin sira tuir medida no
kuantidade, la hanaran hanesan naran barlake husi feto sa sira
|
|
2
|
Morteen 1 tradisional
|
Aaba
|
Morten
|
||
|
3
|
Tais feto
|
Rabi/rabi
|
Tais feto
|
||
|
4
|
Tais mane bo’ot
|
Kola
|
Tais mane ki’ik
|
||
|
5
|
Tais mane ki’ik
|
Kola waliga
|
Tais mane
ki’ik
|
||
|
6
|
Roupa oi-oin mane nia
|
Asukai gi
roupa
|
Roupa mane nia
|
||
|
7
|
Fahi
|
Bai
|
Fahi
|
||
|
8
|
Fo’os karun
|
Isuara
|
Fo’os
|
||
|
9
|
Tua oi-oin
|
Ma
|
Tua
|
||
|
|
Total
|
Fo
tuir na’an moris sira ne’ebe maka simu
|
|||
4.3.5.6.6 Makna Belis
Sesuai dengan jawaban dari tokoh adat berbicara mengenai makna dan nilai
belis adalah sama, begitu juga responden, Delfin Marques sebagai salah satu
ukuran tinggi rendahnya martabat seorang wanita. Pada umumnya seorang wanita
dapat diterima dan dihargai secara khusus dalam klan tersebut, sesuai dengan
jumlah belis yang ditentukan oleh kedua belah pihak. Seorang gadis dengan belis
yang tinggi dalam kedudukan juga tinggi dan diperlukan dengan perbuatan yang
baik terhadap keluarga pria. Dengan belis dalam perkawinan adat makasa’e
bemakna sebagai nilai-nilai yang dapat mengangkat harkat dan martabat seseorang
berdasarkan tinggi rendahnya jumlah belis. Sebaliknya wanita dengan belis
rendah mendapat kedudukan juga rendah di dalam keluarga pria.
4.3.5.6.7 Nilai Belis
Menurut Delfin tokoh/tua adat di uma lisan Suliwa mengatakan bahwa
seorang wanita dengan belis yang rendah/belum tuntas diberikan, belum
diidentikkan sebagai tumata (feto sa). Belum termasuk klan pria/belum
diidentikkan sebagai tumata, namun
suami istri, anak-anaknya masih termasuk dalam klan wanita dan pasangan suami
isteri disebut (anak kandungannya).
Belis hanya simbol dan tanda ikatan kekerabatan dari kedua mempelai dan
dimana perkawinan secara adat makasa’e tidak sebatas kematian sebab keturunan
merupakan ikatan perkawinan yang tidak terputuskan untuk selamanya melalui belis sebagai tanda penghargaan antara kedua
belah pihak antara kedua mempelai yang saling menghargai, dan untuk menentukan
sistem perkawinan secara patrilineal (hafe
fo ho folin).
4.4. Penyajian Data:
Dalam penyajian data, baik data observasi maupun data wawancara,
pertama tama penulis memaparkannya secara mentah dalam bentuk table berdasarkan
variable penelitian. Data ditampilkan sesuai dengan sub - sub variabel. Sub -sub
variable yang sama digabungkan menjadi satu. Setiap data yang ada selanjutnya
dianalisis oleh penulis dengan maksud dan tujuan dari penelitian, dengan tetap
menjaga keaslian data yang terhimpun.
4.4.1. Data Observasi
Data yang diperoleh dan berdasakan pengamatan dari penulis tersebut, selanjutnya ditabulasikan dalam bentuk table data
yang akurat di Aldeia Vaniria.
Hukum Kanonik.
Tabel XI
|
No
|
Variabel
|
Hal-hal yang diamati
di lapangan
|
Keterangan
|
|
1.
|
|
Calon suami
isteri yang hidup bersama dalam keluarga (sepanjang) sebelum diberkati oleh
pastor
|
Pada umumnya
|
|
2.
|
|
Pastor/imam dan
diakon untuk menjalankan tugas atau peranan masing-masing
|
Selalu ada
|
|
3.
|
Perkawinan
menurut hukum gereja katolik
|
Pemberkatan dari
imam/pastor paroki
|
Ada
|
|
4.
|
P
emberkatan oleh diakon
|
Sesuai dengan situasi dan kondisi
|
|
|
5.
|
|
Tempat
pemberkatan oleh kedua mempelai, di gereja/paroki dan kepala.
|
Ada
|
|
6.
|
|
Dua
orang saksi dari pernikahan
|
Ada
|
|
7.
|
|
Persiapan
perkawinan, katekis, diakon imam/pastor.
|
Ada
|
Sumber:
Data Observasi, Juli 2011
Tabel
XII
Hukum
Adat
|
No.
|
Variabel
|
Hal-hal yang diamati
|
Keterangan
|
|
|
|
Perkawinan berdasarkan
kekerabatan
|
Pada umumnya
|
|
|
|
Kehadiran tokoh adat untuk
berbicara pandai berbahasa kiasan simbolis
|
Ada
|
|
|
|
Proses perkawinan melalui
tahap-tahap
|
Ada
|
|
|
|
Sistem perkawinan hukum adat
|
Ada
|
|
|
|
Syarat-syarat tentang belis tukar
menukar materi
|
Ada
|
Sumber:
Data Observasi, Juli 2011
4.4.2. Data
Wawancara.
Data wawancara peneliti peroleh dari Para Tokoh Agama dan tokoh-tokoh
adat.
Hukum Kanonik
Tabel XIII
|
No.
|
Variabel
|
Indikator
|
Jawaban dari
Informan
|
Jumlah
|
|
|
|
1.a. Memahami tentang sabda Allah yang telah dipersatukan
oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.
|
Telah dipersatukan oleh Allah
tidak boleh diceraikan oleh manusia, menurut Injil Mateus 19: 1–2 Manusia
hanya merencanakan Tuhanlah yang menentukan
|
1
Orang
|
|
1.
|
Perkawinan
menurut Hukum Gereja Katolik
|
1b. Saudara
setuju kedua mempelai yang menerima sakramen di Gereja.
|
Sangat setuju
karena sakramen perkawinan ini sangat penting bagi kedua mempelai dan
kehidupan kristiani.
|
1
Orang
|
|
2
|
|
2a. Ada kedua
orang tua mempelai yang hadir dalam sakramen perkawinan
|
Perlu ada kedua
orang tua sebagai saksi dalam keadaan kondisi
|
1
orang
|
|
|
|
2b. cincin suci
diberkati oleh Pastor sebagai lambang cinta kasih
|
Ada ikatan cinta
kasih dan kedua mempelai untuk saling mencintai juga sebagai simbol
pernikahan
|
1
Orang
|
|
3
|
|
1a. Pastor yang
mempunyai peranan penting dalam gereja
|
Pastor sebagai
wakil kristus dalam gereja yang melaksanakan tugas dalam kondisi yang baik
|
|
|
|
|
1b. Sakramen
peneguhan / Pernikahan
|
Sakramen
peneguhan ini sangat penting sebelum melangkahi ke sakramen perkawinan calon
mempelai, merasa yakin bahwa mereka ingin menikah
|
1
orang
|
|
4.
|
|
2a. Setuju sakramen perkawinan
dalam satu keyakinan pada Tuhan yang diterima oleh kedua mempelai.
|
Suatu
penghormatan bagi mereka berdua
|
1
orang
|
|
|
|
2b. Perlu ada
keterlipatan dari kedua orang tua mempelai dalam partisipasi upacara
perkawinan
|
Keterlipatan
dari kedua orang tua mempelai dalam upacara pernikahan karena kedua orang tua
mempelai sebagai saksi dari mereka
|
|
|
5
|
|
1a. Calon kedua
mempelai harus dituntut dan syahnya dalam sakramen perkawinan
|
Kedua mempelai
harus menurut sahnya dalam pernikahan karena menjaga nama baik, juga sebagai
suatu tradisi gereja katolik
|
|
|
|
|
1b. sakramen
perkawinan sebagai tanda lambang kedamaian dalam keluarga kedua mempelai.
|
Setuju sakramen
perkawinan sebagai lambang kedamaian dalam keluarga kedua mempelai bahagia
kesejahteraan dan kekal.
|
1
orang
|
|
6
|
|
1a. Efek posetif
yang mempunyai suatu kebahagiaan bagi kedua mempelai.
|
Perlu ada
kedamaian, kecintaan, keharmonisan dan persatuan didalam keluarga bahagia dan
kekal.
|
1
orang
|
|
|
|
2b. Efek negatif
dari sakramen perkawinan tantangan yang terjadi dalam keluarga calon
mempelai.
|
Efek negatif
muncul karena kedua mempelai saling perselisihan, pertengkaran, tidak ada
rasa kedamaian dari efek posetif
|
|
|
|
Total
|
|
|
7 Orang
|
Sumber
Data Wawancara, Juli 2011
Hukum Adat.
Tabel XIV
|
No.
|
Variable
|
Indicator
|
Jawaban informasi
|
Jumlah orang
|
|
1
|
|
1. a Persiapan dari kedua calon
mempelai yang menghadapi hukum adat.
|
Pihak wanita pada dasarnya pasif.
Dalam arti pria yang pergi mencari dan meminangnya sehingga pemuda dan
kerabatnya sudah menyiapkan material yang cukup memadai sebelum pergi
meminang seorang gadis.
|
1
orang
|
|
|
|
1.b Tuntutan nilai-nilai hukum
adat
|
Sebab perkawinan secara hukum
adat melalui proses yang membudayakan dalam tahap-tahap perkawinan kedua
mempelai diperbolehkan hidup bersama sistem dan nilai-nilai sosial budaya.
|
1
orang
|
|
2
|
|
2.a Keuntungan dari kedua
mempelai dalam proses perkawinan hukum adat.
|
Ada keuntungan dari kedua
mempelai untuk saling menerima antara kedua orang tua yang disepakati kedua mempelai
membentuk suatu keluarga klan suaminya sebagai kehidupan dalam keluarga yang
bertanggung jawab.
|
1
orang
|
|
|
|
2.b Peranan penting dalam proses
perkawinan pada kedua mempelai
|
Peranan penting dalam keluarga
kedua mempelai juga para tua-tua adat, berkaitan dengan pesta dan tak lupa
membawa belis atau barlake dan serahkan keluarga wanita (omarae), keluarga
pria akan membawa anak perempuan untuk ke rumah adat seorang laki-laki.
|
1
orang
|
|
3
|
|
1.a Larangan dalam penyelesaian
secara hukum adat.
|
Dilarang antara dua orang yang
berhubungan darah dan garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas, suami
isteri tidak boleh bercerai lagi, siap yang melanggar aturan cara bandu yang
menyelesaikan secara hukum adat.
|
1
orang
|
|
|
|
1.b Tuntutan orang tua calon
mempelai wanita yang belum menerima mempelai pria yang menjadi suami
|
Pihak orang tua yang menuntut
dari seorang pemuda, feto sa, belum memberikan sesuatu kepada umane
tergantung ketentuan dari pihak feto sa.
|
1
orang
|
|
4
|
|
1.a Positif calon mempelai sudah
memberikan belis kepada orang tua wanita yang menerima secara legal.
|
Kedua orang tua mempelai untuk
saling mengenal dan saling menghargai, kedamaian, keharmonisan dalam keluarga
mempelai sebagai feto sa dan umane.
|
|
|
|
|
1.b Negatif perkawinan hukum adat
tentang yang terjadi dalam upacara peminangan keluarga mempelai
|
Negatif, belis dapat menyebabkan
pertengkaran dan memperselisikan dalam keluarga sendiri antara dua pihak
keluarga belis seorang lelaki sering memperlakukan isterinya yang tidak
sepatutnya, tidak kedamaian dan harmonis dalam keluarga.
|
2
orang
|
|
5
|
|
2.a Dalam menyetujui dan menerima
perkawinan adat
|
Dalam hal ini sering terjadi juga
bahwa kedua mempelai yang setujui dan menerima perkawinan secara adat
istiadat di Aldeia Vaniria sebelum kawin secara resmi entah secara adat atau
kawin di aldeia Vaniria yang lebih dahulu.
|
1
orang
|
|
|
|
2.b Terlibat dalam upacara
peminangan perkawinan
|
Peminangan secara adat istiadat
yang menyebabkan bahwa anak-anak dan kecilnya sudah dipasang oleh kedua orang
tuanya setelah dewasa diikat bersama dalam perkawinan, adanya kawin paksa.
|
2
orang
|
|
|
|
|
|
12 org
|
Sumber:
Data Wawancara, Juli 2011
4.4.3. Analisis Data
Penulis
hanya menampilkan dari hasil wawancara dengan para tokoh agama, Katekis, dan
Tokoh-tokoh adat setempatnya.Selain data wawancara penulis juga menampilkan analisis dari data observasi yang secara
langsung diambil atau diamati di lapangan. Peneliti juga mengamati secara
langsung bagaimana tata cara hidup dan
kondisi masyarakat yang ada di Kampung Vaniria.
4.5. Komparasi Antara Perkawinan
Menurut Hukum Gereja Katolik dan
Hukum Adat di Kampung Vaniria.
Tabel
KESAMAAN DAN PERBEDAAN
|
No
|
Perkawinan Menurut Hukum Gereja Katolik
|
Hukum Adat
|
Kesamaan
|
Perbedaan
|
|
1
|
a.
Hukum Gereja
Katolik
|
b.
Hukum Adat
Makasa’e
|
c.
Perkawinan
bukan hanya urusan pria dan wanita yang
ingin menikah namun melibatkan orang lain/saksi atau keluarga
|
d.
Tuntutan
materi belis sebagai syarat utama belis
sebagai tanda atau simbol dalam keberhasilan dan kebanggaan dalam keluarga
kedua mempelai yang diperkokoh dan tak terputuskan, tercerai untuk selamanya.
|
|
2
|
a.
perkawinan
secara religious katolik
|
b.
Perkawinan
secara adat dapat melihatkan
orang lain
|
c.
Bagi kerabat
kedua mempelai serta kedua
orang tua. Ada saksi dari keluarganya masing-masing selain persetujuan dari
hati nurani dan kedua belah pihak juga melibatkan orang lain sebagai saksi
dari keuda mempelai
|
|
|
3
|
a.
Gereja katolik
|
b.
Adat
|
c. Saksi atau
keluarga hanya minimal ada
dua peneguh perkawinan ada dua orang saksi.
|
d. Perkawinan
itu
kehendaki oleh Allah sendiri (65, 48)
yang bersifat monogamy yang tidak bercerai antara suami isteri
|
|
4
|
a.
Tujuan
perkawinan gereja katolik
|
Tujuan hukum adat setempat dari data yang dianalisis
dalam menkonfirmasikan tujuan perkawinan adat yang pertama dan utama
khususnya hukum adat di aldeia Vaniria
|
Perkawinan
hukum gereja katolik dan
hukum adat sama arti, saling melengkapi, saling membahagiakan, saling
membantu dan saling kesejahteraan dalam kedamaian antara suami isteri
|
Ada kelanggaran untuk
berpoligami dan tak terceraikan. Hal ini terjadi bila ada persetujuan dari
isterinya, sehingga suami diperbolehkan mengambil isteri kedua bisa kesuburan
bagi keluarganya.
|
|
5
|
Kesetiaan sebagai ciri khas perkawinan
|
Kesetiaan lebih diperkokoh lagi apabila
ditempuh sistem pembayaran kemas kola bua guar dan disahkan peneguhan dirumah
adat
|
Gereja katolik perkawinan mempunyai sifat
hakiki yakni monogami dan tak terceraikan (Kan. 1056). Acara peneguhan ini
dilarang isteri kembali ke klan asalnya, sebab telah dipericiki dengan air
dari rumah adat suami dan syair oma tama.
|
Hukum adat sangat penting sebagai ikatan
perkawinan , dan yang dikenal dengan perkawinan antara sai-oan. Persiapan
dalam perkawinan secara adat yakni material oleh pihak tumata, tahap
negosiasi barlake perkawinan katolik persiapan secara spiritual yang
diberikan pada jangka panjang
|
Untuk
menjawab hipotesis penelitian berikut ; ini penulis memaparkan atau argumen dan
tanggapan tentang kesamaan dan
perbedaan antara perkawinan menurut hukum Gereja Katolik dan hukum adat
di kampung vaniria.
Tabel XV
|
No
|
Perkawinan
Menurut Hukum Gereja Katolik
|
Perkawinan
Menurut Hukum Adat
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
|
1
|
Proses Perkawinan Gereja Katolik
adalah secara gereja katolik bahwa sebelum melakukan pemberkatan, dari kedua
mempelai lebih dahulu menyelesaikan masalah adat, setelah itu mendaftarkan
diri di paroki, dan paroki masih memberikan waktu untuk mengikuti kursus atau
bimbingan rohani kurang lebih tiga
bulan dan diadakan pemberkatan perkawinan di gereja.
|
Proses Perkawinan Adat adalah
proses perkawinan di kalangan suku makasae setempat, melalui tahap tahap
tertentu yakni tahap peminangan sebagai tahap awal dalam proses perkawinan.
|
ü
|
|
|
2
|
Pemberkatan Kedua Mempelai adalah
diperbolehkan antara kedua mempelai untuk mempersatukan dalam kelurga yang
bahagia.
|
Kola Bua Guar adalah biasanya
kedua orang tua sambil tawar menawar materi dan jumlah belas yang memakan
waktu dalam sehari – sehari. Perkawinan yang dapat melibatkan orang
lain, dengan adanya belis sebagai ikatan perkawinan dan tak terputuskan untuk
selamanya.
|
|
ü
|
|
\3
|
Gereja sebagai tempat pengumpulan
orang-orang Katolik
|
Rumah adat sebagai tempat
penyimpanan barang-barang pusaka (lulik)
|
|
ü
|
|
4
|
Perkawinan gereja katolik
ditandai dengan cincin perkawinan sebagai ikatan hidup semati
|
Perkawinan secara adat ditukar
dengan belis.
|
|
ü
|
|
5
|
Perkawinan Gereja Katolik
diberikan oleh seorang pastor
|
Perkawinan secara adat diberikan
oleh Kepala adat (Tua adat).
|
|
ü
|
4.6. Pembahasan Penulis
Hukum Kanonik adalah : Kitab
Hukum yang bersandar pada warisan hukum dan perundangan Wahyu serta Tradisi,
harus dipandang sebagai alat yang mutlak perlu agar terjagalah ketertiban yang
semestinya. Karena Gereja didirikan sebagai ikatan sosial serta kelihatan, maka
ia membutuhkan norma-norma agar terlihatlah strukturnya yang hirarkis dan
organis. Supaya tugas yang diberikan oleh Tuhan, terutama pelaksanaan kuasa
kudus serta pelayananan sakramen-sakramen, diatur dengan baik.
Dalam Kitab Hukum Kan.1151 “Suami –istri mempunyai kewajiban dan hak
untuk memelihara hidup bersama perkawinan, kecuali jika ada alas an legitim
yang membebaskan mereka”. Dalam pandangan ini suami-istri diajak untuk lebih
memahami arti perkawinan serta memahami nilai-nilai hidup rohani dan menerapkan
dalam keluarga. Hal ini sangat penting bagi sebuah kehidupan dalam perkawinan.
Namun disamping memahami nilai-nilai gereja, nilai-nilai budaya, adat-istiadat
juga menjadi pandangan dan pedoman serta sebagai penupang hidup sebuah
perkawinan. Karena manusia juga berasal dari adat-istiadat, dan perkawinan yang
dilangsungkan atas persetujuan kedua belah pihak (keluarga suami-istri). Jadi
secara logika bahwa mempertahankan serta mengikuti nilai-nilai gereja bukan
berarti melepaskan hukum adat, begitupun sebaliknya mengikuti sistem adat
istiadat, bukan berarti tidak menghiraukan nilai-nilai gereja. Akan tetapi
kedua-duanya disatukan menjadi referensi dalam pengembangan hidup spiritualitas
baik itu dari segi Gereja maupun dari adat-istiadat.
Gereja juga mempunyai peranan penting dalam mengembangkan hidup
berkeluarga. Karena perkawinan merupakan titipan dari Allah, maka itu perlu
manusia memahami dan mengerti secara baik mengapa gereja mempunyai peranan
penting. Gereja adalah wadah tersimpan
sejuta kesejahteraan umat manusia bila manusia sendiri percaya akan gereja.
Perkawinan tanpa gereja, maka perkawinan dikatakan tersesat, kendatipun dari
segi perkawinan adat mempunyai pandangan yang berbeda, namun harus disadari
bahwa segala bentuk apapun yang terjadi di dunia ini adalah berasal dari Allah,
maka keuntungan yang diterima melalui
perkawinan adalah rahmat dari Allah.
Hukum Adat adalah : Sebuah
fenomena (cara /pengalaman hidup)
Kehadiran dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat dirasakan dan
diperlukan bagi masyarakat. Hukum adat mempunyai makna tersendiri karena
merupakan refleksi budaya yang hidup di dalam sanubari masyarakat setempat.
Sebagai satu tipe hukum adat di dunia, hukum adat mempunyai karakter yang khas.
Karena hukum pada dasarnya bersenyawa dengan dengan masyarakat tempat lahir dan
tumbuhnya, maka dengan sendirinya hukum adat itu merupakan wujud
(yuris-fenomenalogis). Intherensi antara hukum adat dengan masyarakat
(semestinya) dapat diwadahi dalam hukum adat kita. Hal demikian relevan dengan
sifat dinamis dan pastis dari hukum adat kita sehingga (seharusnya) hukum adat
tetap relevan dan berperan pada masyarakat kita, baik sekarang maupun yang akan
datang.
Maka itu, hukum adat juga
mempunyai peranan penting dalam sebuah perkawinan karena kita hidup dalam dunia
sosial hidup berdampingan dengan orang lain dimana dari mereka tentu mempunyai
sifat, karakter, adat-istiadat yang berbeda justru sangat penting bagi
suami-istri agar lebih memahami dan mengerti bagaimana kita hidup dengan orang
lain yang mempunyai perbedaan suku, ras,
daerah, dan bahasa.
Secara umum masyarakat Aldeia Vaniria (AV), yang mempunyai tiga sistem
dalam perkawinan yang sistem hafoli (patrilineal), habani (matrilineal) untuk
rumah ke rumahnya (parental). Ada ketiga sistem tersebut di atas penulis
melihat juga ada aturan-aturan yang berlaku di dalam hukum adat dianut suku
makasa’e di aldeia Vaniria (AV) yakni sistem hafolin dalam (patrilineal).
Hafolin merupakan salah satu
dari sistem dalam pihak yang beristeri harus membayar dalam sejumlah
barlake/belis yang ditentukan oleh kekerabat wanita oleh karena itu, perkawinan
yang pemberian belis atau barlake
dari pihak pengambil isteri yang diwajibkan, yang hafoli itu sendiri adalah akronim/kesepakatan yang terbentuk dari
beberapa suku kata yakni “hafe fo folin”
hafe yang memperisteri, fo yang
memberi dan ho dengan serta folin, harga.
Di dalam suku makasa’e sistem folin
itu dikenal ada dua cara yakni membayar belis dengan tuntas dan juga dibayar
cicilan. Dengan cara yang pertama seorang gadis sudah dikategorikan sebagai “tumata”. Ada keperluan dari pihak “umane” untuk membantu baik berupa materi
maupun tenaga mereka harus menyiapkan
balas jasahnya seperti kain adat (gutu-gasi,
rabi) binatang (babi) dan beras kafe
masin midar. Dalam pengorban tumata tidak secara sia-sia saja, sedangkan
cara kedua namun tidak diwajibkan untuk mekanisnya secara menyicik yang
bersifat masih ada tahapnya untuk membalasnya
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Perkawinan sebagai suatu relitas dalam hidup
manusia yang dikenal oleh segenap anggota masyarakat sebagai tahap hidup dalam
peralihan yakni dari masa remaja ke masa keluarga. Dimana pria dan wanita yang
ingin hidup bersama untuk membentuk sebuah rumah tangga atau keluarga harus
melalui suatu proses tertentu. Dan realitas hidup manusia dalam perkawinan
tidak hanya menyangkut pria dan wanita yang hendak menikah, juga melainkan melibatkan
orang lain dan saksi dari keluarga, khususnya keluarga dari kedua belah pihak
atau kedua mempelai yang berkompeten, pria dan wanita hanya menganut perkawinan
ada dua budaya yang berbeda, yakni; perkawinan menurut hukum gereja katolik dan
hukum adat khususnya di Aldeia Vaniria.
Perkawinan menurut hukum gereja katolik yang
menyangkut nilai kehidupan yang mempunyai tugas suci bagi manusia untuk
mengembangkan keturunan sesuai dengan gagasan kitab kejadian “beranak cuculah
dan bertambah banyaki penuhilah bumi” (Kej; 1; 28). Dalam hal ini perkawinan
yang dikehendaki oleh Allah sejak manusia diciptakan.
Perkawinan Gereja Katolik pada hakekatnya adalah
sakramen, yang bersifat monogami dan tak terceraikan serta bertujuan untuk
saling membantu, saling membahagiakan, saling menghormati, saling kesejahteraan
yang kekal dan bersama-sama untuk mendidik anak-anak yang terlahir dari
persekutuan hidup suami istri.
Dimana persatuan hidup dan cinta kasih antara
suami istri yang dikehendaki oleh Allah sendiri demi kehidupan oleh suami istri.
Dalam hal ini perkawinan tidak dapat diceraikan atas kuasa oleh manusia. Dengan
demikian perkawinan menurut hukum gereja katolik dan hukum adat yang setempat
adanya kesamaan dan perbedaan. Maka hipotesis penulis dapat dibenarkan.
5
2 Saran
Kepada semua lapisan masyarakat yang
berkecimpung dalam aktivitas kerohanian maupun dengan adat-istiadat suatu
daerah atau tempat agar tetap memberikan anjuran dan pandangan yang baik kepada
semua anggota masyarakat agar sistem perkawinan yang diterapkan tidak dapat
merugikan atau bertentangan dengan nilai-nilai gereja dan budaya setempat.
Karena perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dijalankan sesuai dengan
proses baik itu secara adat maupun secara hukum gereja. Karena baik secara hukum adat maupun hokum
gereja masing-masing mempunyai perbedaan dan persamaan. Jadi penulis
mengajurkan kepada pelbagai pihak yang berkompeten agar diperhatikan dan
dijalankan, demi kemurnian perkawinan dari kedua sudut pandangan tersebut
dengan tidak menyeleweng atau meniadakan satu dengan yang lain dan beberapa
pihak yang dimaksud adalah pemangku adat dan pemimpin gereja, pemeritah
Timor-Leste serta Instituto de Ciências Religiosas (ICR).
5.2.1 Pemimpin Gereja dan Pemangku Tua Adat
Orang yang sama, pasangan suami isteri yang
menganut perkawinan secara religius maupun secara hukum adat, dan keduanya
mempunyai tuntutan yang berbeda. Penulis menganjurkan kepada semua yang
berwewenang atau berkompeten agar mengadakan kolaborasi yang baik suatu
peneguhan yang retak, dalam kenyataannya perkawinan secara hukum adat yang
harus mendahului perkawinan secara katolik. Dari sudut pandang hukum gereja
katolik bahwa kemurnian yang ternodai.
5.2.2 Pemimpin Gereja (Imam/Pastor)
Semua pihak yang berkompeten terlebih pemimpin
gereja (imam/pastor tersebut) supaya mengadakan kerja sama dan kolaborasi yang
baik demi penghargaan dan pemurnian dalam nilai hukum adat melalui inkulturasi.
5.2.3 Pemangku Tua Adat
Dalam negosiasi tentang belis dan nilai-nilai
persaudaraan atau nilai-nilai normal/moril,
namun juga mempengaruhi dalam pemborosan (nilai-nilai dalam ekonomi), hingga
penulis menganjurkan kepada para tua adat dalam pihak yang berkompeten agar
menurunkan harga/jumlah belis bukan ditiadakan.
5.2.4 Pemerintah Timor Leste
Pasangan suami isteri yang dimaksud, juga
masyarakat yang berbudaya, beragama dan bernegara. Maka pemerintah Timor Leste
perlu memperhatikan identitas kultural dalam masyarakat setempat khususnya
perkawinan gereja katolik, yang dimaksudkan dalam paket kurikulum dalam generasi
muda dan generasi penerus mengenal, memahami dan mencintai kebudayaannya
5.2.5 Instituto de Ciências Religiosas
(ICR)
São Tomás de Aquino sebagai penuntun ke arah
pengembangan inkulturasi; penelitian mengenai adat istiadat/kebudayaan lokal
yang mengadakan kolaborasi yang baik dan pemangku adat dan pemimpin gereja demi
penghargaan dan pemurnian terhadap nilai-nilai perkawinan hukum adat melalui
inkulturasi.
5.2.6 Peneliti Selanjutnya
Dalam keterbukaan kepada semua pihak yang ingin
mengadakan penelitian selanjutnya, sebab skripsi ini belum memaparkan secara
mendetail tentang perkawinan menurut hukum gereja katolik dan hukum adat,
khususnya hukum adat di Aldeia Vaniria. Disarankan juga agar penelitinya tidak
terbatas pada kesamaan dan perbedaan antara nilai-nilai yang perlu inkulturasi.
DAFTAR PUSTAKA
Beding M. B. S. 1997. Gereja
Indonesia Pasca–Vatikan II,Yogyakarta Penerbit Kanisius.
Cooke B. 1991. Perkawinan Kristen, Yogyakarta: Kanisius.
Dok. Pen. KWI. Hardawiryana, R. (Penterj). 1991 Kitab Hukum Kanonik. Jakarta: Obor dan
KWI.
Da Silva L. M. 2003. Barlake Tuir
Emar Makasa’e–Soba. Dili Instituto Nasional de Linguistica.
Kansil, C.S. T. 1995. Modul
Hukum Perdata. Jakarta Penerbit Kansil
Muhammad B. 2006. Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta
Manehat Piet 1990. Agenda Budaya Pulau Timor, Atambua Timor, oleh Komisi Komunikasi
Sosial.
Raden S. 2007. Bab–bab Hukum Adat, Jakarta; PT Praday
Paramita.
Sudarsono 2005. Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta Penerbit Piseha.
Sukardi, P. D 2003. Metodologi Penelitian. Yogyakarta; PT Bumi Aksara.
Syamsudin M. 1998. Hukum dan Modernisasi Hukum, Yogyakarta.
Soekanto.
S. 2007, Pengantar Penelitian Hukum,
Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
Suwandi 1983. Asas-Asas Hukum Adat,
Jakarta
Yosef, R.
L. 1986, Yesus Teladanku Jakarta
Penerbit Obor dan KWI.
DAFTAR LAMPIRAN
A.
Pertanyaan–Pertanyaan wawancara dengan
para pemimipin Gereja
Katolik atau katekista setempat.
1. 1ª. Apakah anda memahami
tentang sabda Allah apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh
diceraikan pada manusia?
1b. Apakah saudara setuju
kedua mempelai yang menerima sakramen perkawinan di gereja?
2.
2ª. Perlukah kedua orang tua
mempelai hadir dalam perkawinan?
2b. Apakah cincin suci diberkati olehpastor sebagai lambang cinta kasih pada
kedua mempelai?
3. 1ª.Apakah pastor merupakan peranan penting dalam gereja yang memberikan pada kedua mempelai?
1b. Apakah sakramen peneguhan
dan diberikan oleh pastor merupakan suatu jaminan pada calon mempelai?
4. 2ª. Apakah anda setujuh sakramen perkawinan merupakan satu
keyakinan pada
Tuhan yang diterima oleh
kedua mempelai?
2b. Menggapa perlu keterlibatan dari kedua orang tua
mempelai dalam partisipasi
upacara perkawinan bagi kedua mempelai?
5.
1ª. Mengapa setiap calon kedua
mempelai harus dituntut dan sahnya
dalam
sakramen
perkawinan?
1b. Apakah ada tuntutan dari
kedua belah pihak dalam perkawinan?
6.
2ª. Apa efek samping setelah kedua mempelai setujui mengikat janji nikah,
efek
2ª. Apa efek samping setelah kedua mempelai setujui mengikat janji nikah,
efek
positifnya apa dan negatifnya apa?
2b. Apa yang mau jelaskan
tentang sahnya perkawinan antara kedua mempelai?
B. Pertanyaan–pertanyaan wawancara untuk Tokoh–Tokoh Adat
1. 1ª. Mengapa perlu adanya persiapan dari kedua calon mempelai yang menghadapi
hukum adat?
1b. Apa saja yang dilakukan dari
kedua mempelai untuk memenuhi tuntutan
nilai-
nilai hukum adat?
2. 2ª. Mengapa perlu adanya belis dari kedua mempelai dalam perkawinan hukum
adat?
2b. Apakah ada keuntungan dari kedua mempelai dalam proses
dari kedua
mempela tersebut?
3. 1ª. Mengapa perlu kehadiran
dari tokoh adat pada kedua mempelai tersebut?
1b. Mengapa hukum adat merupakan
peranan penting dalam proses
perkawinan
pada kedua mempelai?
4. 2ª. Apakah adanya larangan
dalam proses penyelesaian hukum adat? belis kepada
orang tua wanita yang menerima secara legal?
2b. Dari pihak manakah yang
memberikan nilai-nilai belis?
5. 1ª. Bagaimanakah syarat-syarat perkawinan adat Makasa’e?
1b. Apakah anda perlu adanya tuntutan orang tua calon mempelai wanita belum
diterima
mempelai pria, belum menjadi suami?
6. 2ª. Apakah anda setuju dari efek positif calon mempelai pria sudah memberikan
belis kepada orang
tua wanita yang menerima secara legal?
2b. Apakah anda mengakui bahwa efek negatif
dari perkawinan hukum adat
merupakan tantangan
yang terjadi dalam keluarga mempelai?
7. 1ª. Mengapa perlu adanya peminangan dalam proses
perkawinan adat pada kedua
mempelai?
1b. Bagaimana tahap negosiasi
tentang belis dan tahap peneguhan?
8. 2ª. Mengapa perlu adanya kedua orang tua saling menyetujui dan menerima
perkawinan adat pada kedua
mempelai?
2b. Apakah kedua orang tua yang terlibat dalam upacara peminangan keluarga
kedua mempelai?

GEOGRAFICO ALDEIA VANIRIA
Distance
entre area nebe populasaun Vaniria hela ou povasaun Vaniria nia balisa/areal
territorial maka tuir mai ne’e;
Norte
![]() |
Oriental
Ocidental
Sul
1.
Parte oriental baliza ho;
·
Daudere
·
Afabubu
2.
Parte norte balisa ho;
·
Borubatu
·
Sambuti
·
Titilari
3.
Parte occidental balisa ho;
·
Saclari
·
Ililai
4.
Parte sul balisa ho;
Parte sul balisa ho;
·
Abuti
·
Reciliu
·
Leilari
·
Gasirai
·
Lariwua
·
Vairoke

RIQUESA NATURAIS
1.
Rico soin iha aldeia laran maka tuir mai ne’e;
·
Ai kameli
·
Ai teka
·
Au
·
Ai na
·
Ai ru
·
Ai mean
·
Ai hanek
·
Magnes
·
Etc (no sel-seluk tan)
2.
Resultado agrikultura maka tuir mai ne’e;
·
Batar
·
Fehuk
·
Lakeru
·
Hare
·
Aifarina
·
Fore
·
Etc (no sel-seluk tan)
3.
Permanente maka tuir mai ne’e;
·
Has
·
Nu’u
Nu’u
·
Kulu
·
Kami’i
·
Hudi
·
Etc (no sel-seluk tan)
|
|
|
|
|

|
|
Keterangan dengan nama-nama
yang diwawancarai dari tokoh-tokoh agama atau para katekis dengan tokoh-tokoh
adat yang di aldeia Vaniria suco Euquice.
1.
Nama-nama tokoh agama atau katekis;
a. Ermundo
dos Santos
b. Carlos
Belo
c. Casilda
Ximenes
d. Juleta
da Costa
e. Filipe
da Costa
f. Angelina
Freitas
g. Paulino
P. M
2.
Nama-nama tokoh-tokoh adat makasa’e di aldeia Vaniria
a. Delfin
Marques
b. Rui
Soares
c. Mateus
Soares
d. Agapi
Sousa
e. Eurico
dos Santos
f. Alegira
dos Santos
g. Adão
da Costa
h. Lorenço
dos Santos
i.
Duarte da Costa
j.
Celestino Soares
k. Edelfonso
dos Santos
![]() |
|||
![]() |
|||


Sem comentários:
Enviar um comentário